III. Ulang Tahun Terakhir

69 15 9
                                    


“Hari ini pulang cepet, kan?” Tanya Gema pada Maira yang sedang menggigit roti panggangnya sambil memakai jam tangannya dengan terburu-buru. 

Maira hanya berdeham menjawab pertanyaan suaminya.

“Inget, hari ini ulang tahun Arka. Aku aja ngebela-belain cuti lho ini.”

“Nanti kamu langsung ke tempatnya atau aku—” 

Brak! 

Maira langsung menghempaskan tasnya keatas meja makan. Ia menatap Gema sambil menghela nafasnya berat. 

“Aku lagi buru-buru, Gema. Kamu tau sendiri atasanku kayak apa. Tolong dong, jangan ngajak ngobrol terus!” Kesal Maira, Gema yang mendapat bentakan dari Maira hanya menganggukkan kepala. Meski dalam hatinya terasa ada yang masih mengganjal. 

“Oke, sorry. Hati-hati dijalan.” Ucap Gema sebelum berbalik dan masuk kembali kedalam kamar. Memutuskan untuk menghilang dari pandangan Maira. Ia tidak mau istrinya semakin bad mood.

“Kamu gak usah jemput, nanti aku yang kesana sendiri. Aku juga bawa baju ganti kok. Udah. Cukup. Puas?!” Perkataan Maira membuat Gema kembali berbalik badan ke arah Maira, menatap istrinya itu dengan keheranan. 

“Apa sih, Mai? Biasa aja kali.” Gumam Gema, Maira memutuskan untuk segera pergi, daripada emosinya semakin tidak terkendali. 

Gema paham betul. Istrinya sebelum menikah dahulu adalah tulang punggung keluarga. Adik-adiknya menggantungkan nasib pada Maira, sejak kecil Maira ditinggalkan oleh Ayahnya. Ibunya yang tidak berdaya dan sakit itu kemudian pergi untuk selamanya saat Maira di bangku sekolah menengah atas. 

Wajar jika istrinya itu amat sangat workaholic. Gema mencoba mengerti. Sekeras apapun ia mencoba untuk menghentikan Maira, seperti contohnya hamil dan melahirkan Arka, hal itu tidak menyurutkan Maira untuk terus bekerja. 

Maira sudah bekerja kurang lebih selama 8 tahun di perusahaan ini. Banyak hal yang telah Maira lalui termasuk naiknya jabatan teman-teman seperjuangannya. Menelisik hal apa yang membuat teman-temannya secepat itu menempati posisi yang lebih tinggi, Maira paham. 

“Hari ini Bu Irene kan ulang tahun. Kita bikin surprise aja gimana?” usul Yuna, teman satu divisi Maira. 

“Ayo! Tahun lalu Sofia dipromosiin karena surprise-in Bu Irene, kan?” Viola menanggapi dengan bersemangat, mendengar itu mata dan pikiran Maira sudah tidak bisa diajak berkonsentrasi. 

“Oke semua, kita sewa cafe yang diujung jalan itu deh ya. Tapi siapa yang mau ngeluarin duit?” Tanya Yuna kepada teman-temannya, Maira yang sedang bekerja otomatis berhenti. 

Hening, tidak ada jawaban..

“Gue aja, Yun. Dari gue.” 

“Oke Maira, tf ke gue ya!”

Maira mengangguk, satu-satunya peluang bagi dia saat ini untuk mendapatkan suasana pekerjaan yang lebih baik adalah dengan cara ini. Meski Gema selalu mengajarkan padanya, bahwa tidak perlu menjilat orang agar kita diuntungkan— namun tampaknya Maira lupa. 

“Lo apa-apaan sih, Mai? Arka bukannya ulang tahun hari ini?” Anya, teman sebelah Maira menyenggol sikut Maira dengan keras. 

“Iya, tapi.. keburu pastinya, kan? Gue cuma bayar sewa tempat aja kok, yang lain kan pegang dekor, jadi—”

“Eh, Mai. Kita kan mau beli cake sama hadiah, lo dekor cafenya ya?” Ujar Viola, Maira tidak ada pilihan untuk menolak. 

Anya menggelengkan kepalanya. 

“Gak ngerti lagi gue sama lo.” Kesal Anya, Maira hanya bisa menggigit bibir bawahnya dengan gelisah.



Pukul 4 sore. Pekerjaan masih menumpuk untuk deadline hari ini, Maira berusaha menyelesaikan secepat mungkin karena akan menuntaskan dekorasi di cafe yang telah direservasi atas namanya untuk ulang tahun Bu Irene. 

150 panggilan tak terjawab dari Gema, belum lagi orang tua Gema, Zia, dan adik-adiknya. 

Maira sibuk dengan urusannya sendiri. 

Jangan tanya bagaimana keadaan Gema disana, ia amat sangat kesal dan marah. 

“Happy birthday, Arka.” 


“Selamat ulang tahun, Bu Irene!”

**

“Istrimu kemana?” Tanya Ibu Gema sambil menggendong Arka yang sedang mengunyah kue cokelat. Gema menggelengkan kepala. 

“Aku telepon gak diangkat, Bu. Udah berkali-kali.” Jawab Gema, sementara Ibu Gema hanya bisa menatap Arka dengan nanar. 

“Malem ini, Arka boleh nginep dirumah Ibu?” Gema mengangguk. 

“Lebih baik gitu, Bu.”


Pukul 9 malam, Maira masih belum berani menyentuh ponselnya. Ia tidak tahu harus berbuat apa setelah melewatkan pesta penting untuk merayakan kelahiran putranya. 

Gema pasti marah besar, pikirnya. Pikirannya berkecamuk sampai Maira tidak berani membuka gagang pintu rumahnya. Namun,

Cklek!

Pintu terbuka, menampilkan Gema dengan wajah kusut. Maira hanya bisa menatap suaminya itu dengan takut-takut. 

“Gem, aku bisa—”

“Bisa apa? Foto ini udah cukup ngegambarin kalau Arka gak ada artinya buat kamu.” Ujar Gema sambil memperlihatkan insta story Viola, dimana ada foto Maira dan Bu Irene disana. 

“Aku mau jelasin. Aku boleh jelasin dulu ke kamu gak, sih? Aku boleh dikasih kesempatan ngomong dulu, gak? Coba dengerin aku!” Nada tinggi yang keluar dari mulut Maira membuat Gema segera menarik istrinya itu untuk masuk kedalam rumah. 

Keningnya mengerut tanda tak habis pikir dan tak percaya. Maira? Dihadapannya? Seperti ini sekarang? Sejak kapan?

“Kamu salah, tapi kamu ngotot. Bentar, kamu ngerasa salah gak sih, Mai?” Tanya Gema, Maira mengangguk cepat. 

“Gema, aku kayak gini biar bisa dapetin kehidupan yang lebih nyaman ditempat kerja. Kamu ngerti, kan?” Maira menggenggam tangan Gema, namun laki-laki itu tidak mengindahkannya. 

“Lagian.. ulang tahun Arka… kita… masih bisa rayain lagi…sama-sama…nanti.. please, Gema. Pahamin aku dulu.” Ucapan Maira membuat Gema tertawa meringis. 

“Oke, seolah kamu percaya diri kalau Arka masih mau dirayain ulang tahunnya kedepan nanti setelah apa yang kamu lakuin sama anakmu sendiri hari ini.”

“Kamu tau gak, Arka hari ini nanyain kamu berapa kali?” 

Maira menunduk, air matanya mengalir seketika. Ia menangis.

“Lebih dari panggilan tak terjawab kamu dari aku, sebanyak itu Arka nanyain kamu.” Tutur Gema sambil meraih kunci motor dan hoodie miliknya, lalu keluar dari rumah setelah sesaat sebelumnya ia menabrak bahu Maira terlebih dahulu sambil berjalan ke pintu. 


**

Banyak hal yang tidak Maira dan Gema sangka setelah menikah. Ketika berpacaran, semua terasa indah. Karena baik Maira maupun Gema amat sangat memberikan effort yang terbaik. 


Bukan berarti, setelah menikah effort itu terhenti. Namun, konteks effort telah berbeda saat mereka menikah, karena effort yang dibutuhkan adalah usaha untuk saling mempertahankan rumah tangga, bukan untuk saling memuaskan ego masing-masing seperti yang mereka lakukan sewaktu pacaran. 

Setelah menikah, banyak hal yang baru Gema tahu tentang Maira, begitupun sebaliknya. 

Menyesal? Sudah terlambat. 


**


Yang nungguin mas Tama dan Seira, sabar yaa 😊

Titik Rindu ; Mina x MingyuUnde poveștirile trăiesc. Descoperă acum