Benteng Belgica

9 0 0
                                    

          Waktu demi waktu berjalan dan membawa para anggota volunteer dihari terakhir mereka mengabdi di Banda. Setelah dua minggu penuh cerita yang mereka lalui bersama warga setempat, Dean selaku ketua kelompok meminta ijin untuk mengadakan donor darah dan pemeriksaan kesehatan serta pembagian obat dan vitamin gratis bagi warga.

Sesuai kesepakatan awal, Kaisar turut serta sebagai fotografer yang diminta Dean untuk mengambil banyak dokumentasi foto.

Semua anggota volunteer terlihat sibuk dengan tugas masing-masing yang sudah dibagikan. Begitupula dengan Dara yang sedang mengambil darah dari peserta donor. Ketika Kaisar memotretnya, Dara melempar senyum tipis dan meminta Kaisar untuk mengambil gambar dari seorang laki-laki berumur 45 tahun yang sedang berbaring diatas brankar.

"Pak, senyum ya! Sambil angkat jempolnya." Dara dan bapak paruh baya itu tersenyum sembari menunjukan jempol kearah kamera.

Kaisar yang melihat keakraban Dara dengan warga, mengulum senyum lebar. Setelah beberapa waktu mereka sering bertemu, banyak hal yang mulai Kaisar ketahui tentang perempuan berumur 25 tahun tersebut, begitupun sebaliknya.

Dara yang sudah selesai mengambil transfusi darah dari peserta donor, meminta Inka untuk menggantikan tugasnya sementara karena ponselnya tiba-tiba berdering.

Sembari melipir kepojok ruangan, Dara mengangkat panggilan dari seseorang yang sudah lama sekali tidak menghubunginya. Sejenak, ada perasaan ragu di dadanya untuk mengangkat panggilan tersebut. Tapi hari ini adalah hari yang menyenangkan baginya dan tidak boleh ada satupun hal yang akan membuatnya merasa sedih.

Dengan tangan gemetar, Dara menggeser tombol hijau pada layar yang masih menampilkan nama pemanggil.

"Halo, Yah?"

"Halo. Kemana aja baru diangkat?"

Dara terkesiap. Ia pikir, setelah lama tak saling berkomunikasi, ayahnya akan bertanya perihal kabar. Nyatanya, watak laki-laki itu tetap sama seperti dulu. Terlalu keras dan egois.

"Maaf, Yah. Dara lagi sibuk acara PMI."

"Kamu sekarang dimana?"

"Di Banda Neira, Yah."

"Kapan pulang?"

"Besok. Besok Dara udah pulang,"

"Ya sudah. Ayah pesankan tiket, kamu langsung pulang ke Semarang!"

"Tapi Yah, Dara mau ketemu Mama dulu."

"Jangan membantah, Dara! Ada seseorang yang mau ketemu kamu. Pokoknya besok kamu pulang ke Semarang."

Panggilan diputus sepihak oleh laki-laki yang berstatus sebagai ayah Dara. Ia tidak perlu heran dengan sifat egois ayahnya. Kehendak ayahnya adalah perintah mutlak yang harus Dara lakukan agar ayahnya tidak marah dan tetap mengirim uang untuk biaya terapi ibunya.

Dara mengembuskan napas panjang. Baginya, tidak ada gunanya memberi pembelaan. Ayahnya tidak akan pernah mau mengerti kondisinya. Sekalipun ia sampai memohon.

Kaisar yang sejak tadi memperhatikan dari jauh, mulai berjalan mendekat. Kaisar melihat ada kegundahan diraut wajah perempuan yang mulai menarik perhatiannya itu.

"Kenapa, Kay?"

"Eh, nggak apa-apa"

"Mukamu kaya lagi banyak pikiran gitu,"

"Kelihatan banget ya, hehe"

"Selesai kegiatan, mau ikut saya nggak?" Tawaran Kaisar terdengar menarik. Dara tahu laki-laki itu pasti punya banyak hal menyenangkan di hidupnya.

"Kemana?"

"Rahasia dong. Mau dulu atau nggak?"

"Kamu selalu aja berhasil bikin aku penasaran. Oke deh, mau!"

"Ya sudah, tunggu ya!"

Mereka berdua kembali pada tugas masing-masing sampai selesainya kegiatan kemanusiaan yang diadakan relawan PMI. Acara ditutup dengan seminar perihal makanan bergizi dan pola hidup sehat. Ketika jam menunjukan pukul 2 siang, seluruh anggota relawan kembali ke posko setelah berpamitan dengan Dokter Warsito.

Dara orang terakhir yang keluar dari klinik. Sebelumnya, ia sudah berpesan kepada Aryo bahwa ia akan pergi bersama Kaisar. Perempuan itu menghampiri seseorang yang duduk diatas motor hitam milik pak Dayat. Kaisar melempar senyum kecil saat Dara berjalan mendekat.

"Tempatnya masih rahasia, ya?" Tanya Dara saat sudah berdiri tepat di hadapaj Kaisar.

"Penasaran banget?"

"Banget,"

Kaisar justru tertawa,
"Maaf ya! Ya udah ayo berangkat, biar pulangnya tidak kesorean."

Motor melaju membelah jalanan aspal sore itu. Semilir angin membelai manja anak rambut Dara yang tidak terikat rapi. Kacamata minus yang sejak 7 tahun tak pernah lepas, sedikit buram terkena debu. Dara melirik ke arah spion motor. Dara dapat melihat wajah laki-laki yang sedang memboncengnya kentara jelas menampilkan rasa lelah. Keringat bercampur debu jalanan, sedikit membuat wajah Kaisar terlihat kusam.

Perempuan itu sama sekali tidak punya tebakan, akan dibawa kemana ia oleh Kaisar. Dara hampir protes karena jarak tempuh yang lumayan lama, tapi urung ketika motor yang dikendarai Kaisar berhenti tepat disebuah pelataran parkir.

Dari jauh, Dara dapat melihat sebuah bangunan tua yang berdiri megah. Bangunan yang tampak seperti peninggalan sejarah itu masih kokoh walaupun terlihat dibeberapa sudutnya sudah mulai ditumbuhi lumut.

"Ini tempat apa?" Tanya Dara penasaran.

"Ini tempat iconic nya Banda Naira. Kalau kita berdiri di menara-menara benteng ini, diseberang sana kelihatan gunung api dan laut Banda."

Tanpa persetujuan Dara, tangan Kaisar terulur untuk menggenggam tangan Dara dan membawa perempuan itu untuk naik keatas benteng. Dara menatap genggaman tangan Kaisar dengan dada berdegup melebihi ritme normal.

Ketika mereka tiba diatas bangunan benteng tersebut, Kaisar mengajak Dara naik ke menara yang ada dibeberapa sudut benteng. Genggaman tangan itu tidak terlepas meskipun kini mereka sudah berdiri bersisihan menatap pemandangan yang disuguhkan pulau Banda.

Kaisar banyak menjelaskan tentang sejarah bangunan yang saat ini mereka pijak. Dara selalu menyukai cara laki-laki itu bercerita. Seolah, setiap kalimat yang keluar dari bibir Kaisar adalah bait puisi yang dirangkai indah.

Setelah menghabiskan waktu dengan banyak obrolan tentang Banda, Kaisar mulai membicarakan tentang kelanjutan perjalanannya setelah mereka berpisah nanti. Karena anggota volunteer akan pulang esok hari, Kaisar meminta Dara untuk menemuinya di lain kesempatan meski bukan dipulau ini. Kaisar menarik kedua tangan Dara dan meminta Dara menghadap ia sepenuhnya.

Kaisar menatap Dara lamat-lamat. Mengusap dahinya dan menyisihkan anak rambut yang menutupi wajah perempuan yang baru ia kenal Dua minggu ini.

Mereka bersitatap. Walaupun saling membisu, tapi hati mereka meneriakan hal yang sama. Sebuah perasaan yang muncul dalam waktu singkat kedekatan mereka.

"Kalau waktu mau berbaik hati, saya sangat berharap kita bisa bertemu lagi dikesempatan yang lain, Kay. Diwaktu ketika hati saya sudah yakin untuk mengutarakan apa yang ingin saya katakan."

Kaisar membawa tubuh Dara ke dalam dekapannya. Membiarkan semburat senja menghangatkan hati mereka dalam perasaan bahagia disela perasaan cinta yang mulai tumbuh.

Antara Dara maupun Kaisar sama-sama tau, pertemuan adalah kata pembuka sebuah perpisahan. Karena orang bertemu tidak selalu untuk disatukan. Terkadang, orang-orang dipertemukan hanya untuk menjadi pembelajaran dari sebuah perjalanan.

Senja dilangit Banda Neira menjadi saksi bisu dua orang yang saling mengikat janji untuk kembali bertemu. Pertemuan yang mungkin menjadi awal sebuah perasaan disuarakan.

BANDA NAIRAWhere stories live. Discover now