2 Killed Them All

En başından başla
                                    

"Tim. Panggil aku Tim." jawabnya.

Gerakan yang sembrono, tapi lebih baik dia dipanggil dengan secuil nama aslinya, Timothy Drake, daripada dipanggil dengan sebutan 'bocah', itu terlalu memalukan. Lagipula, dia pernah jauh lebih bodoh sebelumnya, yaitu ketika dia sempat menggunakan nama samaran 'Drake' yang mana merupakan nama keluarganya. Selain itu, wajahnya sudah terekspos, gadis itu dapat melihatnya dengan jelas, dan dia yakin gadis itu tidak akan segera melupakannya. Jadi, hal apalagi yang bisa membuat keadaan menjadi jauh lebih buruk?

Vendetta tersenyum. "Senang bertemu denganmu, Tim." katanya.

Senyum itu sama sekali tidak membantu Tim untuk merasa baik-baik saja, justru itu membuatnya semakin bertanya-tanya. Apakah dia memang benar-benar bersikap baik padanya atau ada sesuatu yang jauh lebih jahat yang bersembunyi di balik senyum serta tawanya? Dia tidak tahu, dia tidak menemukan apapun. Sejak tadi, pertanyaan yang dia lontarkan dan pertanyaan yang berputar dalam benaknya hanyalah pertanyaan tanpa jawaban.

Tim memutuskan untuk tidak membalas.

Mereka hening selama beberapa saat. Keduanya bungkam, ini menjadi sangat canggung bagi Tim. Gadis itu terus memandangnya dengan tajam dan lurus, kedua mata emasnya tampak tidak berkedip. Tim perlahan merasa kalau dirinya seolah-olah sedang ditelanjangi atau dipermalukan tanpa langsung. Dia tidak terlalu suka bagaimana cara gadis itu menatapnya, sorot mata itu membuatnya sadar diri kalau dia sedang dalam keadaan lemah.

"Apa kau bisa berjalan?" tanya Vendetta.

Tim tidak mengerti kenapa gadis itu lebih peduli dengan kondisi tubuhnya daripada intonasi permusuhan yang meluncur dari bibirnya sejak beberapa menit lalu.

"Ya." jawab Tim, "Kenapa?" dia terdengar sedikit ketus.

Gadis itu tersenyum, "Bagus, itu artinya aku tidak perlu susah payah menggendongmu." katanya.

"Aku bisa berjalan, aku tidak butuh bantuanmu untuk menggendongku kemana-mana." ucap Tim tegas, dia nyaris mendengus. "Kau mengulur terlalu banyak waktu. Sekarang aku jadi ragu apa kau benar-benar ingin membantuku atau tidak." ucapnya.

Mendengar hal tersebut, Vendetta terkekeh. "Aku benar-benar ingin membantumu, jangan khawatir." katanya.

Tentu saja Tim khawatir. Dia tidak bodoh, dia jenius, dan dia tahu kalau semakin lama dirinya berada di sini, semakin besar pula kemungkinan kalau gadis itu adalah seorang musuh yang hanya ingin bermain-main dengan perasaannya demi kesenangan semata. Dia tidak boleh membiarkan hal tersebut terus berlanjut, bisa-bisa dia mulai kehilangan akal. membuat otaknya berantakan, dan mengacaukan segalanya.

"Kalau begitu berhenti main-main dan lepaskan aku." ucap Tim tajam.

Vendetta lagi-lagi tertawa dan Tim lagi-lagi terheran akan apa yang menurutnya lucu. Gadis itu sering kali tertawa, membuatnya mulai berpikir kalau tawa itu suatu saat bisa menghantuinya. Dia tidak tahu apakah itu adalah hal buruk atau bukan, dan itu membuatnya merasa gelisah.

Beberapa detik kemudian, tawa itu perlahan terhenti. Tim memperhatikan gerak-gerik gadis itu dari balik poninya, dia menelaah wajah tersebut dalam diam. Entah kenapa, ekspresinya yang semula tampak main-main kini mulai serius.

"Apa kau mempercayaiku?" tanyanya tiba-tiba.

Tim berkedip. Haruskah dia melontarkan pertanyaan seperti itu?

Percaya?

Pertanyaannya membuat Tim merenung sejenak. Apa dia mempercayainya? Mungkin tidak. Dia tidak yakin. Dia masih belum bisa mengungkap apa niat sebenarnya gadis itu, tapi dia juga tidak bisa melawan instingnya yang berbisik kalau gadis itu memang peduli dengan kondisinya. Bisa saja ini berarti sesuatu, entah dia bodoh atau semua akan berubah menjadi lebih baik.

Robin: Vendetta | Tim DrakeHikayelerin yaşadığı yer. Şimdi keşfedin