"100% kekuatan," ucap Alceena pelan, dengan mengukir senyum tipisnya.

"100% kekuatan?" ucap seseorang yang berhasil mengagetkan Alceena. Dengan refleks dia membalikkan badannya, dia mendapati Ayahnya sudah tepat dibelakangnya.

"Dikira kita Ultraman ya," candaan Ayah berhasil membuat Alceena tertawa.

"Tapi ini benar Alceena, apapun itu harus diniatkan karena Allah," Lanjut ayah sembari menunjuk kalimat yang dimaksud. Alceena menganggukan kepalanya paham atas ucapan ayah.

Tak berselang lama, kini Alceena sudah sampai pada rumah yang selalu dia rindukan, merindukan kamarnya, halamannya, tidak lupa pohon rambutan favoritnya, yang kini sudah rimbun menutupi kamarnya.

Alceena perlahan mendekati Bunda yang mulai mengukir senyumnya sesaat melihat rumah yang dulu dia tinggali. Rumah itu tampak begitu bersih dan rapi, Ayah sudah meminta tolong kepada orang untuk merapikan dan membersihkan nya sebelum kepulangan kita.

"Bunda ingat, ini rumah favorit Bunda bukan," ucap Alceena, dan Bundanya mengangguk tersenyum lebar.

"Bunda tidak sabar mau masuk, ayo Ayah cepat menurunkan barangnya," ucap Bunda antusias, kini Alceena tenang karena Bundanya tidak lagi bersedih.

"Sabar dong, kan kekuatan ayah baru 90% belum 100%," candaan ayah itu membuat Alceena teringat sesuatu.

"Sini deh Bunda sama Alceena bantu," jawaban Bunda membuat Alceena terkejut.

"Alceena juga bantu?" ucap candaan Alceena sembari menampilkan wajah terkejutnya membuat ketiganya tertawa bersama.

Kaki Alceena kini perlahan berjalan ke arah bangunan tepat dibelakang bangunan utama rumahnya. Dia melihat kamar yang begitu nyaman jadi tempat tidurnya dulu, ya itu kamar Alceena. Kamar Alceena memang terpisah dari bangunan utama rumahnya, tidak begitu jauh, hanya beberapa langkah saja dari ruang bangunan utama itu.

Perlahan dengan pasti Alceena membuka kamar penuh kenangan itu, kamar yang begitu dia rindukan.

"Assalamualaikum," salamnya setelah membuka pintu kamarnya yang lumayan susah dibuka itu hingga menimbulkan bunyi.

"Kamar Ceena," lanjutnya sembari melihat beberapa pigura yang memang masih tertata rapi.

Sudah kurang lebih empat tahun Alceena meninggalkan nya, tetapi sama sekali tidak ada yang berubah.

Alceena berjalan menuju secarik kertas yang masih tertancap pada dinding usang di kamarnya itu.

"Dipta," sebutnya lembut.

Alceena merasa aneh dengan nama itu, Alceena benar-benar lupa dengan nama itu. Alceena merasa tidak asing, tapi entahlah dia tidak bisa mengingat siapa pemilik nama tersebut. Dan aneh, nama itu tertempel di kamar Alceena.

***

Pagi ini langkah Alceena tampak percaya diri melewati kerumunan orang dihadapannya, panjang lorong-lorong kelas Alceena lewati dengan senyuman di wajahnya. Tidak banyak juga orang yang menatapnya penuh penasaran dan rasa kagum. Pasalnya kecantikan Alceena sudah tidak perlu di ragukan lagi, pemilik rambut hitam panjang terurai, matanya yang tajam bulat sempurna, bibirnya yang kecil dengan senyum tipisnya, tidak lupa pipi chubby, parasnya kini hampir sempurna.

Ayah Alceena memang seorang ustadz, tetapi ayah Alceena tidak memaksakan anaknya itu untuk itu dikarenakan Alceena juga masih dalam tahap belajar, lepas pasang. Ayah tidak mempermasalahkan itu selagi Alceena tidak jauh dari tuhannya, Allah. Pasalnya, Alceena kini masih belum yakin untuk menutup auratnya.

Untuk AlfareezelWhere stories live. Discover now