69

829 90 8
                                    

Awan gelap itu perlahan memudar. Seiring waktu Elena mulai beradaptasi dan lapang dada untuk menerima apa yang telah terjadi. Perlahan ia mulai terbiasa tanpa kehadiran bayangan Frank. Meski kadang di momen tertentu sekilas ingatan itu datang tapi ia selalu berhasil keluar dari jebakan itu. Ia mulai mengajari dirinya untuk tidak memperdulikan tatapan atau omongan orang lain. Baginya saat ini hanya perusahaan dan anak-anaknya yang penting. Apalagi, Mattew sebentar lagi akan disumpah menjadi seorang dokter muda. Elena begitu bangga bahwa ia telah bertahan untuk anak-anaknya.

Pagi ini ia akan berangkat ke New York untuk menghadiri upacara kelulusan Mattew. Ia berangkat sendiri karena Shawn menolak ikut. Walau belum bisa menaklukan sikap Shawn, Elena tetap optimis bahwa segalanya memiliki waktu yang tepat.

Setelah menitipkan urusan perusahaan kepada Theodor, Elena menarik napas lega untuk pergi ke bandara. Sepanjang penerbangan ia memilih untuk tidur. Dan itu sangat nyenyak. Ia belum melakukan ini sejak perceraian mereka.

Begitu tiba di apartemen Mattew hari hampir malam. Mattew tidak ada karena sedang mengikuti gladi di kampus. Elena menatap toga yang tergantung rapi di kamar Mattew. Ada rasa haru saat menyentuhnya.

"Mom?".

Elena berbalik dan Mattew langsung memeluknya erat.

"Terima kasih sudah ada di sini. Kakek meneleponku, ia dalam perjalanan. Oh ya, dimana Shawn?".

Elena melepas pelukannya dan mengelus pipi Mattew.

"Adik mu, dia punya kegiatan yang tak bisa ditinggalkan. Dia menitipkan ucapan selamat untukmu".

Mattew mendesah lalu duduk di ranjang.

"Apa ia masih marah?".

Elena datang dan duduk di sampingnya.

"Tidak. Jangan khawatir, Shawn punya pemikiran sendiri dan kita tidak bisa memaksanya untuk apapun".

"Mom... Apa ayah menghubungimu? ".

Elena menggeleng. Mattew menggesekan sepatunya di lantai.

"Ini salahku. Seharusnya aku tidak melakukan itu. Tapi mengingat dia berkhianat dan melukaimu, aku begitu marah dan ingin membunuhnya!".

"Sayang, jangan seperti itu. Lihatlah sekarang, kita bertiga bisa hidup tanpa dirinya. Ibu tidak ingin merusak masa depan kita dengan mengingat kenangan pahit itu. Bagiku, melihatmu dan Shawn hidup dengan baik itu sudah cukup untukku. Aku tidak memikirkan apapun lagi. Jadi berhentilah menyalahkan apapun dan jangan sesali yang sudah terjadi. Kehendak Tuhan tidak bisa kita tolak".

Mattew menatap Elena sekilas.

"Bagaimana bisa ayah menyia-nyiakan seseorang sepertimu? Hatimu begitu putih dan lihat kau sangat berbeda sekarang. Aku menyayangimu".

Elena hampir menangis mendengar kalimat Mattew. Ia memandang langit-langit kamar.

"Kini ibu belajar, mungkin suatu hari nanti kita akan kehilangan kakek karena usia tua. Tapi dengan kejadian ini, kita harus tahu bahwa sungguh tak ada suatu apapun yang benar-benar menjadi milik kita. Sekuat apapun kita menggenggamnya, suatu saat pasti akan terlepas. Ibu sudah ikhlas atas hidup ini. Kau sudah dewasa, belajarlah untuk menjadi seorang pria yang bijaksana. Pikirkan matang-matang segala sesuatu sebelum bertindak. Jangan membuat penyesalan di akhir karena itu akan menjadi hukuman yang tidak bisa ditebus seumur hidup. Maukah kau berjanji pada ibu?".

Mattew menghambur dalam pelukan Elena. Kali ini ia menangis dengan keras. Suaranya memenuhi ruangan. Ia menumpahkan segala yang ditahan begitu lama. Sejak kembali dari Naerum, ia selalu memikirkan ibunya setiap saat. Ia takut ibunya putus asa dan bunuh diri. Ia takut ibunya tidak bisa bangkit.

"Aku menyayangimu".

Bisiknya di sela isaknya. Elena mencium puncak kepalanya lama.
Jauh di dasar hatinya, ia lebih hancur. Jika ia yang menangis sekarang, ia ingin berteriak dan meraung agar rasa sakit yang bersarang keluar meninggalkan hatinya. Tapi ia tidak bisa. Ia hanya bisa menelan ludah untuk mengobati rasa sesak di dalam dadanya.

"Ayo keluar dan makan sesuatu yang enak".

Ucapnya pada Mattew. Ia melepas pelukannya dan menyeka sisa air mata di wajah Mattew.

"Apa aku sangat kekanak-kanakan?".

Tanya Mattew dengan senyum malu-malu. Elena berdiri dan tertawa.

"Meski kau akan berumur dewasa , bagi ibu kau dan Shawn masih adalah bocah".

"Mom...".

Protes Mattew sambil berjalan ke kamar mandi untuk membasuh wajahnya.

"Kecuali jika kau punya pacar".

Tambah Elena yang membuat Mattew tertawa. Elena ikut tertawa. Entah kenapa tiba-tiba hatinya begitu hangat. Ia merapikan dirinya di depan cermin. Memoles sedikit lipstik dan tersenyum simpul.

Tak lama kemudian keduanya sudah ada di trotoar. Elena memutuskan untuk mencari makanan di pinggir jalan. Sepanjang jalan ia terus menggoda Mattew.

"Padahal aku sangat berharap bahwa Shawn ada di sini. Juga...ayah".

Kata Mattew sambil mengunyah makanan. Elena mencoba tersenyum manis karena sebenarnya itu juga yang ada dalam hati kecilnya.

"Jika seseorang mencintaimu, dia akan melakukan apa yang kau pikirkan tanpa kau memintanya. Itu yang namanya kontak batin".

"Benarkah? Jangan katakan ibu punya pengalaman tentang itu".

Elena dengan cepat menepis anggapan Mattew. Ia juga heran kenapa tiba-tiba kalimat itu keluar dari mulutnya. Yang lebih konyol lagi ia merasa bahwa Frank akan datang di sini.

"Entahlah. Tapi itu yang ibu pikirkan Matt".

"Baiklah. Aku akan mencoba meyakini itu. Aku sungguh berharap bahwa itu benar-benar terkabul".

Keduanya bertatapan dan tertawa. Elena senang bahwa setidaknya Mattew bisa menerima kekurangan yang mereka miliki saat ini.

Hampir pukul 10.00 malam saat keduanya kembali ke apartement. Masing-masing langsung pergi ke kamar.

Elena memutuskan untuk mandi dan istirahat. Tetapi baru saja ia memejamkan mata ayahnya menelepon.

"Maafkan ayah. Tapi ayah tidak bisa datang ke upacara Mattew besok ".

"Bukankah ayah seharusnya sudah di sini?".

Protes Elena. Ia langsung bangkit dan duduk. Perasaannya sungguh tak enak. Tidak biasanya ayahnya seperti ini. Apalagi ini hari penting untuk cucunya.

"Maaf El tapi ini benar-benar penting. Ayah akan menebusnya. Jangan beritahu Mattew".

"Dia akan kecewa. Frank tidak di sini, lalu ayah... entahlah bagaimana dengannya. Aku sungguh tidak bisa berpikir sekarang".

"El... ini tentang Larine. Sesuatu terjadi padanya dan ayah harus ada di sana. Maafkan ayah tapi ayah mohon mengertilah sayang ".

"Baiklah...".

Elena memutuskan hubungan telepon itu. Ia menarik napas kecewa. Baru saja ia merasakan bahagia dengan Mattew tapi ...

"Larine? Kenapa harus dia? Apakah ini belum cukup?".

Dua perasaan datang. Kecewa dan marah. Ia tidak bisa membayangkan reaksi Mattew besok pagi saat tahu kakeknya tidak mendampingi dirinya di upacara kelulusan.

Elena menatap langit-langit kamar.

"Tolong berikan sedikit keajaiban untuk putraku di hari yang penting besok...".

➡️➡️➡️➡️➡️➡️➡️➡️➡️➡️➡️➡️➡️➡️

*up lagi😁😁

* happy reading 🥰

SECOND HOME (TAMAT)Where stories live. Discover now