“Jadi, kalian akan memberinya nama siapa?” Monica mendekati ranjang pasien.  Meski menggunakan kata kalian, wajahnya menunggu jawaban dari Aleta. 

Aleta masih belum memutuskan. Ada beberapa nama yang sudah ia putuskan dan akan memberi putra mereka nama Bachti …

“Lucien,” jawab Leon lebih dulu. “Lucien Thobias.”

Bibir Aleta membeku, menatap Leon tanpa mengeluarkan satu bantahan pun.

“Lucien?” Monica tampak mempertimbangkan sesaat lalu mengangguk-anggukan kepala. “Sepertinya bagus. Apakah Aleta yang mencarinya?”

Leon tak mengatakan apa pun, menatap Aleta dengan seringai tipis di ujung bibir. Yang berhasil membuat Aleta semakin terbungkam.

Suara ketukan pintu yang tiba-tiba membelah seluruh ruangan, menghentikan percakapan tersebut. Monica menawarkan diri untuk membuka pintu. Akan tetapi … ekspresi bahagia wanita itu seketika raib melihat orang yang berdiri di depan pintu adalah sang kakak.

“Apa yang kau lakukan di sini, Yoanna?” Wajah Monica yang dipenuhi ketegangan seketika menoleh ke dalam. Sebelum kemudia mendorong tubuh sang kakak keluar. Menjauh dari pintu ruang perawatan. “Apa kau sudah gila datang kemari?”

Yoanna menjilat bibirnya yang kering dengan gugup. Ia tahu kedatangannya kemari hanya akan membuat keributan. Tetapi ia tak punya pilihan. “Tentu saja untuk mengucapkan selamat dan melihat …”

“Kau tahu ada Leon di sini, Yoanna. Dan Aleta baru saja melahirkan. Butuh istirahat total. Bukan untuk menyaksikan keributanmu dan Leon.”

“Semalam aku tak bisa tidur begitu melihat Aleta akan melahirkan, Monica. Aku sudah berkali-kali mempertimbangkannya dan aku tetap tak bisa diam saja di rumah. Aku benar-benar akan gila jika tidak …”

“Lebih gila lagi dengan kedatanganmu di tempat ini,” penggal Monica. “Pikiranmu benar-benar sudah tidak waras, Yoanna.”

“Jika jadi aku, kau pikir apa yang akan kau lakukan, hah?”

“Aku sudah mengatakan padamu berkali-kali. Perbaiki hubunganmu dan Leon.”

“Dia bahkan tak ingin melihat wajahku.”

“Setidaknya beri dia waktu.”

“Sampai kapan?”

“Kau menyimpan rahasia dia anak Jacob darinya semalam puluhan tahun. Dan kau bahkan tak tahan menerima kemarahannya yang belum ada setahun?”

Yoanna menelan ludahnya.

“Setidaknya pikirkan perasaannya ketika dia tahu kemiripannya dengan Jacob selama ini ternyata memiliki alasan.”

“Semua karena Maida.”

“Dan sekarang jelas bukan waktu yang tepat untuk menyalahkan Maida. Kenapa kau masih tak menyadari kesalahanmu. Kau pikir Leon begitu marah karena masa lalu kalian saja?”

Bibir Yoanna seketika merapat. “Apa yang kulakukan pada Jacob malam itu adalah ketidak sengajaan.”

Monica mendengus. “Jacob bahkan tak melaporkanmu. Dia nyaris mati di tanganmu dan dia masih melindungimu. Memberikan semua yang kau inginkan.”

“Apa yang kuinginkan adalah hak Leon.”

Monica mendesah dengan keras. “Ya, ya, ya, Katakan itu pada dirimu sendiri. Hanya dirimu yang tahu apa yang benar-benar diinginkan Leon darimu. Setelah semua rahasia ini terkuak. Kau pikir dia tidak mengusik Jacob dan Maida karenamu? Itu untuk membayar keserakahanmu.”

“Kenapa kau juga ikut menyalahkanku.”

“Dan kenapa aku harus membenarkan sikapmu?”

Mata Yoanna melotot dan bibirnya menganga tak terima. Akan tetapi tak mengatakan apa pun untuk membalas sang adik. Hingga pintu ruang perawatan terbuka dan Leon melangkah keluar. Membuat wajah kedua wanita paruh baya tersebut memucat. 

*** 

Aleta sempat melihat wajah sang mertua ketika mamanya membuka pintu dan kembali mendorong keluar lalu menutup pintu ruang perawatan. Seketika ia menatap wajah Leon dengan hati-hati. Pria itu masih belum menyadari. Ketika kepala pria itu hendak berputar untuk melihat siapa yang datang, Aleta tiba-tiba merintih pelan dan memegang perutnya.

Kepala Leon kembali menatap Aleta dengan raut cemas. “Ada apa? Perutmu sakit?”

Aleta mengangguk pelan, demi mengalihkan perhatian Leon. “Di sini?”

“Apakah obatnya tak bekerja dengan baik?”

Aleta menggeleng tak tahu.

“Aku akan memanggil dokter.” Leon langsung memencet tombol merah di dinding di samping ranjang. Lalu meletakkan telapak tangannya di perut Aleta yang sudah kembali rata. 

Aleta menelan ludah dengan keheningan yang mendadak tercipta di antara mereka. Kecemasan yang menggurati wajah Leon membuat Aleta tertegun menatap pria itu. 

“Aku tak tahu ternyata melahirkan akan menjadi seberat dan sesakit ini.” Suara Leon melirih. Mengelus perut Aleta dengan hati-hati. 

Aleta sendiri juga tak tahu. Rasa sakit yang menusuk, dengan tubuhnya yang semakin melemah seolah ia ingin menyerah, tetapi menyadari anak di dalam perutnya juga sedang berjuang. Ia pun dipaksa untuk tak menyerah. Ingin putus asa tetapi ia tak bisa berputus asa.

Namun, semua rasa sakit tersebut akhirnya tergantikan dengan kebahagiaan yang lebih besar dan terlupakan begitu saja melihat wajah mungil bayi mereka. Dan semua perjuangannya terbayarkan dengan lunas.

“Kenapa dokter belum datang?” Leon seketika menyadari dokter yang belum juga datang. “Tunggu sebentar,” ucapnya kemudian beranjak dari duduknya.

“L-leon …” Tangan Aleta sudah terangkat untuk menahan pergelangan Leon, tetapi sebelum ia sempat menyentuh. Pria itu sudah mendapatkan langkah pertama dan mendekati pintu.

“Ada apa?” tanya Nirel yang menyadari kepucatan sang putri. Mendorong boks bayi mendekati ranjang pasien Aleta.

“Mama Leon ada di luar.”

Mata Nirel seketika membeliak terkejut. Keduanya menatap ke arah pintu, dan Leon baru saja melewati pintu.

Bukan Sang PewarisDonde viven las historias. Descúbrelo ahora