35. Makan Malam Kejutan

787 116 4
                                    

Part 35 Makan Malam Kejutan

Sejak hari itu, Aleta tak lagi datang ke rumah sakit. Lewat sang mamalah ia mengetahui perkembangan Bastian. Yang benar-benar membuatnya lega karena perkembangan Bastian semakin membaik meski hampir satu minggu masih belum bangun.

Di hari ketujuh, Aleta masih menyiapkan makan malam ketika ponselnya berdering. Panggilan dari Monica. Yang memberitahunya bahwa Bastian sudah bangun.

Aleta membekap mulut, meredam pekik kelegaan yang memenuhi dada. Air mata keharuan meleleh di pipinya, yang kemudian ia hapus dengan punggung tangan.

“Terima kasih, Ma. Aleta sangat lega mendengar Bastian sudah …” Aleta belum sempat menyelesaikan kalimatnya ketika tersentak karena ponsel yang menempel di telinganya tiba-tiba ditarik dari belakang. Kontan tubuhnya berputar dan hanya menelan ludah melihat ponsel tersebut berpindah di telinga Leon.

"Ya, Ma. Ini Leon."

"Ehm, Leon?" Suara Monica seakan tertelan begitu saja. Ada jeda sejenak sebelum melanjutka kalimatnya. "Tante hanya … mengabari Aleta kalau Bastian sudah bangun. Sepanjang minggu ini dia tidak bisa pergi ke rumah sakit karena kau melarangnya."

"Ya, ini demi kebaikannya. Bukankah sekarang semuanya sudah kembali seperti semula? Rasanya tak baik jika dia masih sering berinteraksi dengan Bastian," terus terang Leon. Tanpa melepaskan pandangan dari manik Aleta. "Ditambah dia sedang hamil, jadi tidak terlalu bagus jika harus sering ke rumah sakit. Ibu hamil sangat sensitif, bukan."

"Ah, ya. Kau benar. Tante mengabarinya juga agar dia tidak terlalu membebani pikirannya dengan mencemaskan Bastian. Baiklah kalau begitu."

"Ya, Ma." Leon mengakhiri panggilan tersebut. Mengamati raut Aleta lebih dalam. Tak ada lagi jejak pekik bahagia di sana setelah terpergok olehnya. "Wajahmu mendadak murung? Kau lebih senang mendengar kabar kekasih gelapmu dibandingkan menyambut suamimu yang pulang dari kantor?"

Aleta menggigit bibir bagian dalamnya. Tubuhnya melangkah mundur, tak tahan dengan interogasi Leon yang sengaja menyudutkannya. Namun, langkah kecilnya jelas tak sebanding satu langkah kaki panjang Leon yang sigap. Menyambar pinggangnya dan dalam satu gerakan sigap, tubuhnya sudah berpindah di meja dapur. Kedua kakinya dipisahkan dan tengkuknya ditangkap. Melumat bibirnya dengan penuh hasrat seperti biasa.

“L-leon?” Aleta berusaha memisahkan bibirnya ketika Leon beralih menciumi rahangnya. “A-aku belum selesai.”

“Aku sudah mengatakan padamu untuk tidak menyiapkan makan malam, kan?”

“Aku tidak ingin pergi.”

“Apakah aku tampak seperti meminta izinmu sekarang?” Ciuman Leon merambat ke pundak, menurunkan kerah baju Aleta hingga di siku. Tangan wanita itu yang menahan pundaknya, ditarik dan dilingkarkan di lehernya.  Satu tangannya menjambak rambut Aleta, membiarkan leher sang istri terpampang untuknya. Mengendus kulit lembut di sana yang hangat dan begitu memanjakan bibirnya.

Merasa cukup puas, meski tak benar-benar puas karena cumbuan ini harus diakhirnya untuk sementara waktu, Leon mengangkat wajahnya di atas wajah Aleta. “Bersiaplah. Kita berangkat setengah jam lagi.”

Aleta kembali bernapas sekaligus lega ketika Leon sedikit memisahkan tubuh mereka yang saling menempel. Menahan kedua pinggang dan menurunkannya dari meja. Tangan pria itu kembali menyentuh ujung dagu dan menyempatkan mengambil satu kecupan di bibirnya. 

“Sekarang,” pintah Leon tegas. Mendorong punggung sang istri ke arak luar dapur.

Aleta pun berjalan ke kamar, merasakan langkah Leon yang melambat di belakang yang membuatnya tak bisa berhenti. Langsung masuk ke ruang ganti untuk mengganti pakaian.

Bukan Sang PewarisTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang