Serendipity [1]

1.6K 109 27
                                    

~Happy Reading~

***

Bayu melangkah santai menuruni tangga sembari sesekali mengetik pesan untuk Sekala. Memberitahukan tentang tugas yang harus Sekala kerjakan dalam waktu cepat ketika sampai di sekolah. Rutinitas buruk yang entah kenapa sulit sekali Sekala tinggalkan, meski Bayu sudah mencoba mengingatkan berulang kali.

Sampai pada pijakan anak tangga terakhir, langkah Bayu terhenti. Bola matanya berpendar menatap sekeliling yang masih sepi guna mencari celah untuk menghindar dari maut yang kini tengah menghadangnya.

Di hadapan Bayu ada Janu dan lima teman satu gengnya. Menghadang membentuk pagar dan menghalangi jalan Bayu untuk melintas. Bayu tahu persis kelanjutan seperti apa setelah ini.

Janu mengulurkan tangan, menyemburkan asap rokok tepat di depan wajah Bayu sampai membuat Bayu menahan napas. "Bagi duit lo." Janu meminta dengan tampang songong yang memang selalu ingin Bayu tabok sekali saja.

Bayu mendengus kesal. Janu selalu melakukan hal yang semena-mena pada semua siswa tanpa ada satupun guru yang berani memberinya hukuman tegas. Tanpa perlu Bayu jelaskan, pasti semua orang sudah tahu siapa Janu dan apa yang membuat Janu begitu bebas menguasai sekolah dan bertingkah semaunya.

"Nggak ada. Nyokap gue belum kirim uang lagi." Bayu mencoba melawan. Lelah juga mengiyakan apa yang Janu mau. Lagipula, Janu anak orang kaya, entah untuk apa uang-uang hasil palakannya selama ini.

"Miskin banget, masih pagi udah nggak punya duit," seloroh Janu yang disambut tawa mengejek oleh teman-temannya.

Bayu tersenyum sarkastik. "Udah tau miskin masih aja dipalak. Lo juga, kan, anak orang kaya. Ngapain masih malak?"

"Suka-suka gue. Kalau gue pengennya malak lo hari ini, ya, lo harus ngerti dan kasih gue duit." ucap Janu.

"Ya udah, suka-suka gue juga mau kasih lo apa enggak. Lagian, gue udah bilang belum dikirimin nyokap." balas Bayu santai.

Janu tidak suka jawaban membantah seperti itu. Puntung rokoknya dibuang, diinjak dengan kasar dan memutar sembari menatap tajam pada Bayu yang sebenarnya mulai gemetar takut.

"Nantangin gue?" Pertanyaan itu terlontar dengan nada berbisik yang tajam. Membuat Bayu menaikkan satu kakinya pada anak tangga di belakangnya.

Janu baru saja mengangkat tangan saat Bayu menendang perutnya dan berlari menaiki tangga secepat yang ia bisa. Hal itu membuat Janu mengumpat dan langsung mengejar Bayu bersama teman-temannya. Beberapa siswi yang kebetulan sedang melintas di tangga sontak terkejut, sebagian lagi memekik ketika Janu meneriakkan kata umpatannya. Sementara, sebagian lagi bersikap biasa dan menggelengkan kepala, karena hal ini sudah seperti rutinitas umum setiap pagi melihat Janu berulah bersama antek-anteknya.

Bayu tidak tahu harus lari kemana, pikirannya hanya terpikir lari yang jauh atau paling tidak menemukan satu guru yang bisa ia jadikan penyelamat. Meskipun, sang guru nanti hanya akan memberikan petuah singkat agar Janu menyudahi permainannya.

Langkahnya sampai pada rooftop. Terhenti karena bingung harus lari kemana lagi, sementara suara Janu dan teman-temannya kian mendekat. Bayu bingung, kepalanya ikut buntu. Bahkan, memikirkan untuk bersembunyi di balik gentong air besar saja ia tidak terpikirkan, sampai Janu dan teman-temannya berhasil menyusul, lalu menyorakinya karena tidak lagi mendapat celah untuk berlari.

"Padahal, gue hari ini lagi baik, Bay. Gue cuma minta dikit duit lo buat beli teh gelas, tapi lo pelit banget sampai nendang gue," Janu mengelus perutnya tepat di tempat Bayu menendang. "Sakit banget loh ini, butuh berobat ke Singapura pake dokter paling mahal—"

Serendipity Where stories live. Discover now