Bagian Delapan

15 5 3
                                    

Shenina membuka pintu rumahnya pelan. Namun saat ia baru memasuki rumahnya, ia dikejutkan dengan seorang lelaki yang memiliki lesung pipi seperti dirinya sedang berdiri tepat di hadapannya.

Secara spontan Shenina memegang dadanya, “Astaga Kak Bian! apaan sih ngangetin gitu.”

“Habis dianterin siapa Shen?”

Seketika ritme jantung Shenina seakan bekerja dua kali lipat. Ia mengedipkan mata secara spontan sembari memainkan bajunya.

“Temen kantor kak,” kalimat itu yang berhasil keluar dari mulut Shenina. Sebab tak mungkin kalau Shenina harus bilang jika yang mengantarkannya tadi adalah Anggara.

Bian masih menatap Shenina seakan meminta kejujuran dari adiknya.

“Temen kantor? Siapa? Sean ada di dalam tuh.”

Demi apapun. Bian dalam mode over protective bagi Shenina itu sangat menyeramkan. Apalagi kalau ada hubungannya dengan Anggara.

Seakan memiliki kesempatan untuk mengalihkan topik pembicaraan ini, “Ada Sean di sini? ngapain dia?”

Shenina berjalan begitu saja melewati Bian dengan kaki sedikit tertatih-tatih akibat insiden di taman tadi. Menuju ruang keluarga yang terdapat teman kantornya–Sean tengah asyik bermain playstation.

Bian tahu. Jelas tahu Shenina sedang berusaha mengalihkannya. Bian juga tahu betul siapa lelaki yang mengantarkan adiknya tadi. Meskipun lelaki itu memakai topi hitam dan masker hitam. Bian sangat mengenali postur tubuh lelaki itu. Anggara. Ya, Anggara Yudha Pradikta bagian dari masa lalu mereka.

“Lo ngapain dah Sen pagi-pagi udah di sini?”

Sean menoleh sebentar ke arah Shenina tanpa melepaskan tangannya dari stik PS yang tengah dipegangnya.

“Gabut gue Shen, jadi gue numpang main PS di sini ya Shen, btw ini bukan pagi lagi Shen udah jam 11 siang.”

Shenina kembali menyeret kakinya pelan menuju sofa yang tak jauh dari tempat ia berdiri tadi.

“Jam 11 itu pagi, kan AM.”

Dari sudut mata Sean. Ia menyadari ada yang aneh dengan cara jalan Shenina. Sehingga dengan spontan ia menghentikan permainan PSnya serta menoleh ke arah Shenina yang sedikit masih menyeret kakinya.

“Kaki lo kenapa Shen?”

Mendengar pertanyaan Sean dengan segera Bian mengalihkan perhatiannya ke kaki Shenina.

“Astaga Shennn, kakak ngga sadar kalo dari tadi cara jalan kamu agak aneh, kaki kamu kenapa Shen?” terlihat jelas raut kekhawatiran di wajah Bian.

Bian menghampiri Shenina dengan segera memeriksa pergelangan kaki Shenina. Sean pun ikut menghampiri Shenina dengan raut wajah yang tak kalah khawatirnya dengan Bian.

“Ahhh.. pelan-pelan Kak sakit.”

Bian menatap Shenina, “Kenapa bisa gini sih Shen?”

“Jatuh Kak, keseleo.”

“Ini harus diurut ngga sih Bang?” tanya Sean.

Bian mengangguk, “Diurut Bi Rumi ya nanti.”

Shenina menggeleng keras, “Ngga mau. Bi Rumi sakit. Udahlah kompres aja juga sembuh.”

“Kalau ngga mau diurut kita ke rumah sakit aja ya?”

“Duhh Kak aku ini cuma keseleo bukan retak atau patah. Kompres doang juga sembuh.”

Bian menarik nafasnya serta menghela nafasnya keras. Sambil menatap tegas ke arah Shenina. tak jauh dari posisi mereka ada Sean yang terus memperhatikan perdebatan kakak beradik ini.

HOLD MY HANDWhere stories live. Discover now