4

224 17 21
                                    

"Ini loh sayang, mama dulu waktu kecil nyebelin banget.." sahut Sadam saat Saira menghampiri mereka berdua di sofa, kemudian mengangkat tubuh kecil itu untuk di dudukkan di pangkuannya. Sedangkan Sherina tampak tersenyum kaku, bingung memikirkan bagaimana cara memberi tahu Saira tentang adiknya.

"Mama papa tuh temenan udah dari kecil ya?" Pertanyaan Saira membuat Sadam mengangguk meski tangannya sibuk merapikan rambut anak perempuannya yang tergerai itu. "Itu tuh beneran??"

"Iya sayang, mama sama papa dulu satu sekolah di SD.."

"Temenan sampe sekarang??" Saira menatap mama-papa nya bergantian dan di hadiahi anggukan sebagai jawaban. Seketika wajahnya berubah sedih, menunduk dalam di depan Sadam.

"Kenapa sayang?" kalimat pamungkas yang akan membuat tangis tertahan dari anak kecil itu seketika meledak.

"Saira mau jadi temen mama papa jugaaaaa" tangisnya seketika pecah.

"Loh? Kan Saira juga temennya mama papa sekarang nak.." tangan Sherina terulur mengusap lengan Saira sedangkan Sadam sibuk mengusap air mata di wajah kecilnya.

"ENGGAAAAAKK!!" jeritnya penuh kecewa. "Mama papa udah gak kecil lagiii! Saira gak mauuuuu!!!"

"Sayang.. kalau mama papa masih kecil, gak akan ada kamu dong.." ucap Sadam. Saira masih sibuk menangis kencang, bisa di bilang ini kejadian langka Saira menangis sebegininya. "Sini-sini peluk papa.. uuuuhhh.. sayangku cintakuuuu.." Sadam memeluk Saira yang memalingkan muka dari Sherina. "Sensi karena mau punya adik nih kayaknya ma.." ucapan Sadam ini sontak membuat dua perempuan di dekatnya itu terkejut.

"Dam..." Gumam Sherina nyaris tak terdengar.

"Adikk??" Saira menjauhkan tubuhnya dari pelukan Sadam. Mata bulatnya kembali menatap dua manusia dewasa di depannya itu bergantian.

"Iya, ada adik di perut mama.." jawab Sadam pelan, mencoba menjelaskan.

"BUANG ADIKNYAAAA!!! SAIRA GAK MAU ADIIIIKK!!!!" teriakannya kali ini membuat kepala Sherina berdenyut beriringan dengan hatinya yang terasa ngilu.

"Sayang.. denger papa dulu.." Sadam berusaha menghentikan gerakan tangan Saira yang memukuli dadanya.

"GAK MAUUUU!! SAIRA BENCI MAMAAAA!!!" kemudian dengan gerakan cepat gadis kecil itu turun dari pangkuan papanya, masuk ke dalam kamar kemudian membanting pintunya kencang sebelum akhirnya menguncinya dari dalam.

Sherina yang melihat reaksi anaknya itu ikut menangis terisak merasa bersalah pada anak semata wayang mereka atas kehamilannya saat ini. "Udah aku bilang, gak semudah yang kamu pikir Dam!" Sherina menutup wajahnya dengan kedua tangannya yang bertumpu pada pahanya.

"Maaf, caraku salah.. kurang tepat waktunya ternyata kasih tahu dia sekarang.. tapi cepat atau lambat, Saira harus tahu Yang.. gak mungkin kita tutupi terus kan?!" Sadam menarik tubuh Sherina untuk di peluknya.

"Sakit banget hati aku denger dia ngomong begitu Dam.." Sherina meremas tshirt yang di gunakan Sadam seolah menyalurkan rasa sakit hatinya disana.

"Maaf ya sayang.. dia emosi.. lima menit lagi juga nyari kamu lagi.." Sadam mengusap punggung istrinya, berusaha menenangkan.

Lima menit berlalu, Sherina masih terisak, begitu juga yang ada di kamar. Sepertinya Saira membanting beberapa barang sebagai bentuk luapan emosinya.

"Biar aku coba ngomong sama Saira ya.." ucap Sadam sesaat setelah mendengar bunyi benda menghantam pintu kamar Saira yang terkunci.

Saira lupa, connecting door tidak sempat di kuncinya dan baru menyadari itu saat Sadam masuk menghampirinya lewat sana.

"Astagaaa" gumam Sadam saat melihat kondisi kamar Saira yang seperti kapal pecah. Kain sprei sudah tak lagi terpasang di ranjangnya begitu juga dengan posisi bantal guling dan bad covernya yang berserakan di lantai. Kanvas yang baru saja selesai di lukisnya berada di dekat pintu. Kemungkinan itu yang dia lemparkan beserta cat air dan paletnya. "Sayang.. bisa bicara sebentar sama papa?"

Saira's JourneyOpowieści tętniące życiem. Odkryj je teraz