***

Ken tersentak saat seseorang melempar botol air mineral dingin padanya. Dia menoleh, kemudian tersenyum melihat kehadiran pria paruh baya yang biasa menemaninya.

"Kamu enggak capek begini terus?" tanya laki itu sembari duduk di samping Ken.

"Ya capek, Om. Om juga, 'kan? Aneh kalau enggak. Patut dipertanyakan, tuh, manusia apa robot abad ke-21."

"Mentang-mentang om bulat kamu pikir Doraemon!"

Ken terbahak mendengar penuturan lelaki itu. Ia memang sudah cukup lama bekerja di tempat cuci motor ini. Tempatnya memang kecil, tetapi cukup ramai. Oleh karena itu, sang pemilik mencari seseorang yang bisa membantunya. Beruntung, Ken yang pertama kali melihat pengumuman lowongan kerja itu, meskipun sempat ditolak karena dianggap masih kecil.

Ken tak hanya bekerja di satu tempat. Sore setelah pulang dari tempat ini, dia melanjutkan pekerjaannya sebagai pramusaji di salah satu tempat makan sekitar rumahnya hingga malam yang khusus menyajikan Korean food.

Jika ada yang bertanya, dengan waktu yang sesingkat itu kapan Ken belajar? Ken bangun jam tiga dini hari, salat malam, kemudian belajar. Ia bahkan masih sempat membantu sang ibu menyiapkan dagangan untuk dititipkan di warung-warung, juga kantin sekolahnya.

"Om."

"Hm?"

"Om pernah enggak, sih, ngerasa marah dan benci sama manusia sampai rasanya semua yang dia lakuin itu salah. Mau dia benar sekalipun tetap buruk di mata kita."

"Pernah. Namanya benci, mau sebaik apa pun dia akan selalu terlihat salah. Kamu harus tahu kalau perasaan benci itu enggak cuma melukai dia, tapi menggerogoti kita dari dalam."

Ken tahu itu. Bertahun-tahun menyimpan perasaan benci dan dendam tak membuatnya lebih baik. Dia kesakitan setiap harinya mengingat semua rasa sakit yang mereka berikan. Apalagi, Ken bertemu Kyle bahkan sekelas dua tahun berturut-turut.

"Siapa yang kamu benci?"

Ken tersadar dari lamunannya, kemudian menjawab, "Om! Habisnya Om bawel banget. Kupingku sampai mau copot."

Tanpa diduga lelaki paruh baya itu menyemprotkan air hingga Ken basah kuyup. "Rasain. Bocah kurang ajar kamu, ya."

Pemuda bertubuh jangkung itu tertawa terpingkal-pingkal sembari berlari berusaha menghindari serangan. "Om ampun, Om! Aduh, basah. Kalau aku enggak masuk berarti masuk angin, ya."

"Masuk angin, kok, direncanain. Udah sana pulang. Ganti baju dulu sebelum kerja lagi."

"Siap!"

Saptadi tersenyum melihat kepergian anak itu. Mereka memang sudah cukup dekat karena Ken bekerja di sini pun hampir satu tahun lamanya. Ia sudah menganggap Ken seperti anaknya sendiri.

Ken bergegas pulangpulang karena kurang dari tiga puluh menit dia harus sudah berangkat kerja lagi.

"Assalamu'alaikum ibuku yang cantik."

Yumna tersenyum. "Waalaikumsalam anakku yang ganteng. Kok basah-basahan, sih, Nak? Nanti masuk angin."

"Habis main sama Om Sapta."

"Kalian, tuh, kayak anak kecil aja."

"Ibu lagi apa?"

"Siapin  bahan buat dagangan besok. Ibu udah masak. Kamu mandi sama ganti baju dulu nanti kita langsung makan sama-sama."

"Oke siap, Bos."

Tak mau berlama-lama, Ken langsung mandi dan ganti baju, kemudian kembali dengan seragam kerjanya.

"Nak, kamu pasti capek kerja sana-sini. Kamu boleh berhenti kok. Uang ibu cukup untuk makan sehari-hari dan biaya sekolah kamu. Kamu tinggal fokus belajar."

"Beasiswaku bisa dicabut sewaktu-waktu, jadi aku harus punya uang sendiri, Bu. Aku enggak mau bikin Ibu susah kalau sampai itu terjadi. Tapi, Ibu tenang aja sebisa mungkin aku bakal berusaha keras supaya tetap dapat beasiswa."

"Tapi, kamu capek. Ibu enggak mau kamu sakit, Sayang."

"Bu, aku kerja biasa. Tidur normal juga. Belajar dengan metode yang Ibu ajarin juga membantu banget, lebih gampang masuk karena jam-jam segitu cukup tenang. Jadi, Ibu jangan khawatir. Aku bakal bilang kok kalau enggak sanggup."

"Makasih, ya, Sayang. Makasih udah jadi anak ibu yang paling hebat."

Ken tersenyum. Pemuda itu mengikis jarak antara dia dan ibunya, lalu berkata, "Makasih udah tetap hidup, Bu. Makasih udah jadi ibuku yang paling hebat, hebat, hebat. Aku sayang Ibu."

"Ibu juga sayang kamu, Nak. Sayang banget."

"Pulang kerja, Ibu mau dibawain apa?"

"Enggak usah. Uangnya kamu simpan aja buat keperluan kamu."

Meski sudah bertutur demikian, Yumna yakin anak laki-lakinya itu pasti tetap membawa sesuatu saat pulang nanti.

Selesai makan, Ken langsung berpamitan pada ibunya dan berjalan kaki ke tempat kerjanya. Sebenarnya, Ken lelah, sungguh. Namun, orang-orang seperti mereka tidak boleh merasa lelah bukan? Jika lelah dan malas bekerja, mereka tidak akan bisa makan. Jadi, Ken berusaha sekeras mungkin agar bisa tetap makan dan sekolah dengan nyaman. Oleh karena itu, setiap hari ia merapal doa agar Kyle dan ibunya merasakan apa yang dia rasakan selama ini.

- Bersambung -

Maafkan aku kesiangan wkwkwkk.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Mar 14 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

182 DaysWhere stories live. Discover now