Meja Nomor 14

151 11 4
                                    

Suasana kantin sekolah pada jam istirahat memang tidak pernah sepi, selalu dipenuhi oleh siswa-siwa kelaparan yang otaknya sudah diperas pada empat jam pelajaran pertama. Semuanya yang disini ingin segera duduk pada tempatnya, menikmati pesanannya, dan segera kembali ke kelas mereka. Begitu juga dengan Alena, yang saat ini tengah berusaha keras menembus antrian bakso yang sangat ramai.

"Pak, baksonya lima mangkok, ya. Yang dua campur. Sisanya, nggak pake tahu sama siomay," pesan Alena pada Pak Ujang, penjual bakso di kantin sekolahnya.

"Meja nomor berapa?" tanya Pak Ujang.

"Nomor empat belas, pak. Aku tunggu, ya," jawab Alena. Setelah mendapatkan anggukan dari Pak Ujang, Alena segera berbalik badan dan berjalan menerobos kerumunan siswa yang sedang mengantri. Keringatnya mulai terlihat, dan nafasnya terlihat susah.

"Sudah, Len?" tanya salah satu temannya saat Alena sudah berhasil sampai di meja mereka.

Alena menghela nafas panjang sejenak, "Udah, kok, Kim. Minumnya juga udah, kan?" tanya Alena.

"Masih dipesenin sama Rachel. Daritadi dia nggak balik-balik. Hari ini kantin kita ramenya nggak tahan," jawab temannya itu, Kimi namanya.

"Haha, iya, rame banget. Eh, omong-omong, Alya sama Dina kemana?" tanya Alena saat ia menyadari bahwa kedua temannya tidak ada, padahal mereka berdua tidak ditugasi untuk mengantri hari ini.

"Balik ke kelas. Katanya, sih, ada yang ketinggalan," jawab Kimi. Alena manggut-manggut mengerti.

Tak lama setelah itu, Rachel datang, disusul dengan Dini dan Alya yang ternyata kembali ke kelas untuk mengambil handphone. Pesanan bakso dan minuman mereka juga menyusul beberapa menit setelah itu. Dan kemudian, lima remaja cantik itu sudah sibuk dengan makanan mereka masing-masing.

"Kita boleh duduk disini, nggak?" suara lembut yang sangat Alena kenal itu sontak membuat Alena menghentikan acara makannya. Ia mendongak, melihat siapa yang tengah berbicara dengannya.

"Eh, Kak Rayhan?" tanya Alena salah tingkah. Rayhan hanya tersenyum tipis menanggapinya.

"Duduk disini? Boleh aja, kak. Kalau buat kalian berenam juga masih muat. Duduk aja," jawab Dina santai.

"Thanks, ya," ujar Kak Aldi mewakili. Setelah itu, keenam siswa kelas sembilan paling digilai di sekolah itu duduk bersama Alena dan teman-temannya. Terlihat jelas, Alena menjadi tidak konsen saat memakan baksonya. Kedua bola matanya terus memandangi Rayhan yang saat ini tengah duduk dihadapannya.

"Len, ngelihatnya jangan sampe begitu. Kak Rayhan nggak kemana-mana kok. Iya, kan, Ray?" goda salah satu teman Rayhan sambil menyenggol sikut Rayhan.

"Kak Putra apaan, sih. Aku nggak ngeliatin Kak Rayhan," jawab Alena dengan pipi bersemu merah.

"Ngeliatin juga nggak papa, Len," sahut Rachel yang terlihat menahan tawa. Ucapan itu mengundang pelototan mata Alena yang sipit, membuat semuanya semakin ingin tertawa.

"Udah, jangan gitu. Kasian, kan, Alenanya," ujar Rayhan. Alena seketika membeku. Dirasakannya sensasi panas dingin dari ujung kepala sampai ujung kakinya.

"Uhk!" sindir Aldo keras sambil melirik Rayhan. Rayhan hanya diam, tidak berniat untuk menanggapinya.

"Len, dibelain tuh, sama Kak Rayhan," bisik Kimi yang memang duduk di sebelahnya.

"Sst, udah, Kim. Jangan gitu, aku malu," jawab Alena sambil berbisik juga. Dan setelah itu, kesebelas remaja itu melanjutkan acara makannya. Delapan orang diantara mereka tengah tersenyum penuh arti ke arah Alena dan Rayhan yang saat ini sama-sama menunduk dalam diam dan perasaan mereka masing-masing.

***

Tawa Alena dan yang lainnya seketika meledak saat Kak Nathan bercerita tentang Pak Antok, guru matematika killer yang tadi pagi jatuh terjengkang di lapangan sekolah karena menginjak kulit pisang.

"Aduh, kak, gue nggak bisa bayangin, si botak itu jatuh sambil dilihatin hampir satu sekolahan! Aah, andaikan gue lihat langsung," ujar Dina masih terus tertawa.

"Dia tadi kayak salah tingkah gitu lho, dek. Sambil marah-marah bilangnya yang salah itu kulit pisangnya. Yang lain sih cuma nahan ketawa aja, nggak berani jawab, ahahaha!" jawab Kak Nathan.

"Guru itu emang, ya, nggak pernah mau disalahin," sahut Putra, membuat tawa yang lain semakin keras. Termasuk tawa Alena, tawa yang membuat sepasang mata sipitnya menjadi seperti bulan sabit.

Pemandangan itu, secara tak langsung menjadi sebuah hal yang indah bagi Rayhan. Ia bahkan tak tertawa saat teman-temannya terus bercerita tentang hal-hal yang konyol. Tentu saja, saat ini ia sibuk dengan wajah Alena. Wajah adik kelas yang menyukainya, dan diam-diam ia sukai.

"Ray, lo diem aja?" tanya Michael, mengejutkannya.

"Lo diem aja kenapa, sih. Itu si Ray, kan, lagi lihatin Alena. Kenapa lo ganggu?" tanya Putra kesal.

"Jangan didengerin, Len. Putra emang gitu," sahut Rayhan yang tetap kalem. Putra membuka mulutnya, hendak membalas perkataan Rayhan lagi jika saja bel masuk tidak berbunyi.

"Udah bel, nih. Kalau gitu, kita balik, yuk," ajak Kak Aldi. Satu persatu mulai berdiri.

"Besok kita disini lagi aja, ya. Kalian asik banget ternyata," ujar Michael.

"Boleh banget, kak. Tadi ada kalian, jadi nggak ngebosenin gitu," jawab Alya.

"Apalagi si Alena. Dia seneng banget, tuh, kak, soalnya ada Kak Rayhan," sahut Rachel. Yang lain tertawa lagi.

"Hahaha, okay. Sampai ketemu besok, ya. Kita balik duluan," pamit Aldi.

Dan setelah itu, satu persatu dari mereka kembali ke kelas. Rayhan masih betah ditempatnya, dihadapan Alena.

"Ngg... Kak Rayhan nggak balik?" tanya Alena pelan-pelan, agar nada suaranya tak terdengar bergetar.

"Aku cuma mau ngomong sebentar sama kamu. Sini deh," jawab Rayhan sambil mencondongkan diri ke arah Alena. Nafas teratur Rayhan mulai menerpa wajah Alena, membuat gadis itu harus mati-matian menahan gejolak di dalam dadanya.

"Aku cuma mau bilang, makasih buat cokelatnya kemarin. Enak banget rasanya, aku suka. Lain kali, nggak usah lari gitu, ya. Aku nggak gigit kok," bisik Rayhan pelan, lalu setelah itu berbalik badan dan berjalan pelan meninggalkan Alena yang masih membeku dalam tempatnya.

Semburat merah mulai tercetak di kedua sisi wajah Alena, ia meremas kedua ujung roknya kuat, menahan rasa bahagianya sekarang. Ternyata, Kak Rayhan sudah mengenalnya. Kak Rayhan mengajaknya berbicara, Kak Rayhan menyukai cokelatnya, dan Kak Rayhan sudah peka, tanpa ia harus mengatakannya.

"Oi! Len? Kak Rayhan ngomong apa?" tanya Rachel penasaran sambil mengibaskan tangannya dihadapan Alena, mencoba menyadarkan lamunan sahabatnya.

"Nggak papa, kok," jawab Alena sambil tersenyum tipis. Pikir Alena, dunia dan orang-orang disekitarnya tidak perlu tahu betapa bahagianya Alena sekarang. Biarlah ia menyimpannya, sampai kepastian benar-benar ia genggam.

"Ya sudah, ayo balik. Kalau telat bahaya, Bahasa Indonesia, nih, pelajarannya," sahut Dina. Lalu, mereka semua mulai berjalan menuju kelas mereka. Sedikit lebih jauh, Alena kembali menoleh dan menatap sudut kantin itu dengan tatapan penuh arti.

"Meja nomor empat belas, terimakasih sudah menjadi saksi antara aku dan dia," gumam Alena sangat pelan, dan hampir menyerupai bisikan.

fin

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jun 28, 2015 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

All About Alena-RayhanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang