Sekotak Cokelat

120 8 0
                                    

Hari ini aku datang pagi-pagi sekali seperti biasanya. Menyusuri koridor-koridor sekolah yang masih sepi sambil menenteng sebuah bungkusan di tangan kananku.

Pertigaan pertama, aku belok kearah kanan, menuju pada deretan ruang kelas sembilan. Dan langkahku terhenti di depan ruang kelas 9.3. Loker-loker terjejer rapi di sini. Bola mataku bergerak perlahan, nomor enam, loker yang aku cari. Aku melangkah perlahan sambil merogoh saku bajuku dan mengambil kunci duplikat.

"Klik," suara kunci yang berputar itu terdengar jelas, mengingat bahwa suasana sekolah masih sangat sepi. Loker nomor enam terbuka. Isinya rapi, masih sama seperti terakhir aku membukanya. Senyumku merekah tipis, dan tangan kananku terulur untuk menaruh bingkisan yang aku bawa. Setelah itu, sebelum menunggu untuk ketahuan, aku segera menutup loker itu dan berjalan dengan cepat menuju tempat persembunyianku.

* * *

"Hari ini apa lagi, Ray?" suara itu membuatku tersadar dari kantuk yang mulai membuatku terduduk lesu di balik semak-semak sekolah. Aku berbalik, mengintip dengan antusias. Terlihat disana, sosok itu sedang menggaruk lehernya salah tingkah dan tersenyum pada teman-temannya.

"Tulisannya sih, sekotak cokelat untuk Kak Rayhan," jawabnya.

"Dimakan dong, Ray. Kali aja yang ngasih lagi di sekitar sini, pasti dia seneng," salah satu temannya berbicara dengan semangat.

Aku harap-harap cemas. Takut kalau cokelat yang kurasa manis itu ternyata masih kurang di lidahnya, atau malah sebaliknya. Maklum saja, ini memang pertama kalinya aku memberanikan diri untuk memberinya makanan yang kubuat sendiri.

Mataku tak lepas dari setiap gerakannya. Tangannya dengan dramatis membuka kotak itu dan mengambil salah satu cokelat yang berwarna putih. Keringatku menetes deras dan tanganku dingin, meremas kuat kedua ujung rok sekolahku.

"Gimana, Ray?" tanya salah satu temannya.

"Siapapun yang bikin ini, gue cuma mau bilang kalau cokelatnya enak banget,"

"AAAAAAA!" teriakku tak sadar. Secara refleks aku melompat dari semak-semak dan melompat kegirangan. Oh, Tuhan! Inikah rasanya bahagia? Aku menggigit bibir bawahku kuat-kuat, meredam rasa bahagia yang kini mengalir dari ujung kepala ke ujung kakiku,

"AAAAAAA!" teriakku sekali lagi.

"Siapa disana?" suara teriakan itu cukup menyadarkan dan membeku dalam posisiku.

Aku tak berani untuk berbalik badan. Oh, Tuhan, suara langkah kaki itu semakin terdengar keras. Dan aku masih saja berada di posisiku dengan gemetar hebat yang melemaskan kedua lututku. Aku memejamkan mataku rapat, sambil mulai menghitung dalam hati.

"Satu,"

"Dua,"

"Tiga,"

Tarik nafas yang dalam, dan...

LARI ALENAAAAA.

fin.

All About Alena-RayhanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang