04 - Hidup Yang Pahit

208 28 1
                                    

dr. Naraya Santoso.

***

"Bercinta?" Bibirku menggumam. Kedua alisku terangkat. Pak Baskara adalah atasanku yang baru. Yang di hari pertamaku kerja langsung datang dan mengeluh sakit kepala. Wajah beliau pucat, namun sejak tadi, aku juga memperhatikan gelembung di balik celananya yang kelihatan sesak. Ternyata, pusing itu adalah akibat hasrat meroket yang tak dapat tersalurkan. Aku mengukir senyum kecil dan menggelengkan kepala. "Bapak sepertinya memang butuh istirahat."

Punggung tanganku yang dia tangkup di permukaan dadanya buru-buru dia lepaskan. Pria itu menghela napas dan membuang wajah, kembali menutup matanya dengan lengan. Aku melihat wajah dan kulit lehernya memerah. Reaksi alami yang sering terjadi jika seseorang sedang menahan malu.

"Pergi," sepatah kata yang sanggup membuatku berdiri. Aku mengangguk meskipun Pak Baskara mungkin tidak melihat. Balik badan menuju mejaku sendiri dan menarik kursi. Aku duduk di sana, kedua mataku menyipit mengamati tubuh besar nan tinggi yang kini sedang berbaring di atas sofa yang bahkan terlalu kecil untuk menopang tubuhnya.

Semua kata yang keluar dari bibir pria itu terdengar seperti orang yang terkena ekstasi. Melantur dan selalu menggumamkan nama 'Miss Red'. Namun suhu tubuhnya yang tinggi membuat aku memaklumi, Pak Baskara terserang demam, dan jelas ucapannya yang melantur serta mengajakku bercinta hanya sebatas igauan belaka.

Aku menyatukan jemariku untuk menyangga dagu. Kedua mataku menyipit. Seandainya saja Libya tahu apa yang dikatakan oleh suami tercintanya mengenai hal ini. Dia pasti akan marah besar. Namun nanti, aku sedang menikmati semua yang terjadi di sini. Tatapan mataku mengarah ke bawah, bungkus rokok berwarna putih dengan label Raya Sentosa itu terpampang jelas di sana.

Tanganku meraih kotak itu, menatapnya lebih dekat. Setiap melihat kotak ini, atau orang-orang yang mengepulkan asapnya dengan asal tanpa peduli dengan kesehatan orang lain, dadaku terasa panas. Rasa ingin menghancurkan kotak ini—terlebih si empunya terlampau besar. Namun aku harus tetap menahan diri, menjaga emosi agar segala rencana yang sudah aku jalankan begitu lama dapat berakhir sempurna.

Napasku terhela, aku menyandarkan punggungku pada kursi hitam yang mulai sekarang menjadi milikku. Mataku terpejam dengan sendirinya. Isi dalam benakku melayang, kepada seluruh penderitaan yang membuatku akhirnya bisa sampai sejauh ini. Kepada seluruh kesengsaraan yang berhasil mendorongku duduk di posisi yang nyaman.

Namun, semua itu sama sekali tidak mudah. Begitu banyak pengorbanan, begitu banyak hal yang aku tinggalkan. Semua tangis dan sesak di dada sudah tak terhitung seberapa banyaknya. Air mata yang mengalir pun rasanya sudah kering. Luka di dada yang basah pun berakhir busuk dengan taburan garam yang menambah proses nyerinya. Yang satu itu belum menghilang. Luka yang aku punya justru kian dalam.

"Jangan membenci siapapun, Nak ...." Kata-kata yang ibu ucapkan di akhir hayatnya kembali muncul di kepala. "Apa lagi ayah kamu. Meskipun sekarang dia udah ninggalin kita, jasanya untuk hidup kita jelas udah banyak sekali."

Ibu yang terlalu baik, ibu yang naif. Kalimat lembutnya yang memintaku untuk memaafkan justru menjadi pacuan telak yang membuatku enggan mundur sampai sekarang. Dendam itu kian membara setiap harinya. Tawa ayah dan keluarga yang muncul di layar televisi justru bagaikan siraman bensin yang tiada habisnya.

Ya, ayahku adalah orang dari pemilik merk rokok ini. Raya Sentosa. Aku membenci nama yang dia pilih untuk benda kotor yang selalu aku hindari. Benda yang sanggup mematik penyakit untuk banyak orang namun dengan bodoh orang-orang itu justru menyerahkan diri. Namaku adalah nama yang bagus, nama dengan arti yang penuh makna. Aku tidak suka ayahku mengambilnya begitu saja untuk merk sebuah merk dagang yang menyebar penyakit.

Naabot mo na ang dulo ng mga na-publish na parte.

⏰ Huling update: Mar 08 ⏰

Idagdag ang kuwentong ito sa iyong Library para ma-notify tungkol sa mga bagong parte!

Rayuan Si Gaun MerahTahanan ng mga kuwento. Tumuklas ngayon