03 - Bercinta

373 40 2
                                    

***

Usai meeting yang alot dan menghabiskan emosi akibat seluruh materi yang disampaikan sama sekali tidak sesuai dengan apa yang aku inginkan, aku mengunjungi klinik sesuai dengan apa yang Kalila jadwalkan.

Wajahku sudah keruh, tubuhku sudah lelah. Sekali saja aku menemukan sesuatu yang salah, maka emosi ku akan terpantul dengan cepat. Aku masuk ke dalam klinik itu dengan kedua tangan yang ku tenggelamkan ke dalam saku. Sebelah alisku terangkat ketika menemukan tirai sudah terganti, jendela juga sudah terbuka. Udara jadi lebih segar dari pada biasanya.

"Pak Baskara." Seorang perawat muda pemilik senyum ramah yang aku tahu namanya adalah Rara menyapa. Aku melanjutkan langkahku, mataku bergerak mencari keberadaan dokter muda yang katanya baru datang hari ini. "Dokter Raya ada di ruangannya, saya panggilkan dulu."

"Nggak usah." Aku menyahut cepat. Seharusnya dokter itu tahu jika aku—sang pemilik perusahaan tempatnya bekerja menyempatkan diri di tengah waktuku yang sempit untuk berkunjung ke mari. Ketika tatapanku mengarah tajam ke Kalila, dia langsung menunduk dengan ekspresinya yang takut. Aku tetap akan memarahinya meskipun dia mungkin sudah memberitahu dokter itu jika aku akan datang. Namun berhubung sang dokter sendiri menghilangkan etika dengan tidak menyambut kedatanganku, akan banyak sekali orang yang aku semprot setelah ini. "Biar saya sendiri yang masuk ke dalam ruangannya."

Rara dan Kalila langsung berbisik. Aku mendengarnya, tapi memilih untuk diam saja dan melanjutkan langkah menuju pintu yang tertutup. Tanpa mengetuk, aku memutar ganggangnya, membuka pintu itu begitu saja tanpa peduli di dalam sana sang dokter sedang melakukan apa.

Langkahku berhenti. Sosok itu berdiri tepat di belakang jendela memunggungi. Ketika dia menoleh, bulu mataku sontak meredup. Rambut panjangnya yang bergelombang itu sedikit berkibar seiring dengan tubuh rampingnya yang berbalik. Aku ..., seolah sedang melihat dewi.

"Saya sudah mendengar kalau anda akan datang." Suara itu menyapa dengan senyum tipis yang familiar. Aku seperti pernah melihatnya. Namun di mana?

Ketika kami berdiri berhadapan, aku bisa melihat wajahnya dengan jelas. Cantik, dengan poni tipis yang membuatnya tampak jauh lebih muda dari yang aku bayangkan sebelumnya. "Miss Red ...," bahkan membuat bibirku menggumam tanpa sadar.

Membuat kening sang dokter berkerut bingung. "Miss ..., Red?" Dia mengulang nama yang aku sebut dengan raut wajah tak mengerti.

Aku buru-buru menggeleng dan berusaha menahan untuk tidak memukul kepalaku sendiri. Akibat semalam hasrat ku gagal terpuaskan, sosok Miss Red bahkan enggan pergi dari dalam kepalaku sampai sekarang. "Maksud saya, salam kenal." Wajah dinginku berhasil kembali. Aku mengulurkan tangan. "Saya Baskara, pemilik perusahaan ini. Yang memerintahkan anda untuk bekerja di sini."

"Saya Naraya."

Senyum serta sentuhan telapak tangannya membuat kulitku terasa disetrum. Aku menarik telapak tanganku segera dan memasukkannya ke dalam saku celana. Berdehem ketika sang dokter menatap ku dengan kedua mata bulatnya yang masih terheran-heran.

Aku benar-benar tak berhenti mengutuk diriku sendiri. Sentuhan tadi juga terasa menegangkan layaknya mesin penghantar listrik yang arusnya sangat kuat sampai aku tak bisa menahan diri. Seperti ..., sentuhan Miss Red semalam. Dengan cepat aku menggeleng lagi.

Orang di depanku ini jelas bukan Miss Red. Meski di kepalaku bayangan akan wajah cantik dengan gaun merah menyala semalam hanya berupa sosok kabur yang tak dapat aku lihat dengan baik, namun aku percaya diri akan langsung mengenalinya lagi jika kami dipertemukan lagi.

"Ada yang salah, Pak?" Wajah itu berusaha mencari mataku akibat aku yang menunduk sambil mencengkeram kepalaku sendiri. Sakit sekali. Setiap aku berusaha mengingat wajah kabur bergaun merah yang semalam menguasai ku, kepalaku pasti akan berdenyut-denyut seperti.

Rayuan Si Gaun MerahWhere stories live. Discover now