Chapter 2______Anak Pembawa Sial

63 59 3
                                    


Di depan cermin besar wastafel toilet perempuan Diego berdiri, memandangi bayangannya yang terpantul di sana. Beberapa orang siswi yang keluar dari bilik toilet di sana memandang heran padanya yang kemudian berlalu pergi dengan tatapan mereka yang menjeling.

Kini hanya Diego sendiri di sana, ia sudah berdiri sejak 15 menit lalu tanpa bergeming sekalipun. Seakan menatap tak berarti bayangan tubuhnya, tatapan yang tidak pernah berubah. Ia menatap ruam merah di lehernya, terlihat begitu jelas dan menggelap. Tangan kanannya naik meraba ruam-ruam itu, sekilas sudut bibir kanannya terangkat menyungging senyum miring.

Senyuman hampa yang seolah mengejek dirinya sendiri, hal yang selalu Diego lakukan setiap menatap cermin dan melihat bayangannya. Tak ada rasa marah kala menatap luka itu, tak ada rasa sakit kala telapak tangannya meraba jejak jemari di sana. Hambar, hanya hitam dan putih bagi Diego, semuanya sama tak ada bedanya.

Kembali ia mengingat kejadian beberapa saat lalu kala Alzegar untuk pertama kali memberikan tanda merah itu padanya. Ia tidak melawan, tak ada niat dan membiarkan pemuda itu bahkan jika Alzegar sampai membuatnya kehabisan nafas sekalipun. Terlintas di fikirannya akan 'kematian' saat pemuda itu mencekiknya kuat.

Seolah tak peduli dengan hidup bagi Diego, baginya hanya penyiksaan yang didapat, lantas tidak ada salahnya jika ia harus tiada, fikir gadis itu. Dirinya bak orang yang kehilangan akal di mata mereka, pada kenyataannya Diego memang hampir selalu berfikir di luar kewarasannya. Frustasi, bukanlah sebatas kata, melainkan hal yang nyata terjadi pada Diego sejak usia belia.

Diambang batas akal sehat ia masih bisa bertahan, hampir menyentuh kata Depresi yang mungkin akan membuat hidupnya lebih menderita. Bukan keinginan bagi Diego mengalami semua itu, tapi mereka yang membuat dirinya seakan seperti kehilangan akal sehat. Ia tahu, ia mengerti bahkan ia lebih memahami hal yang orang lain tidak bisa pahami.

Diam, Diego selalu diam. Menanggung semuanya sendiri, hanya bayangan yang selalu ada menemani. Memang pada siapa dan untuk apa ia membaginya? Baginya tidak ada kata teman atau keluarga, semuanya lenyap bersama hati dan perasaannya. Hanya ada kebencian juga dendam yang menyelimuti dirinya, hampa dan kesepian selalu setia mengikutinya.

Berakhir helaan nafasnya yang begitu tenang, Diego melangkah dan berjalan keluar meninggalkan toilet. Semua orang memperhatikan ruam gelap di lehernya kala Diego berjalan melewati koridor kelas. Diego tak menghiraukan bisikan yang terdengar akan dirinya, tatapannya hanya lurus seakan tengah berjalan sendirian di satu lorong yang gelap dan sunyi.

Kakinya terus melangkah, membawanya hingga ke pinggir lapangan sekolah yang luas. Diego mengambil duduk di tribun dengan pohon oak sebagai peneduh di sampingnya. Ia duduk sendirian disana, menatap lurus lapangan yang terbentang dengan beberapa siswa yang tengah bermain basket di depan sana.

Hanya menatap, tiada rasa ketertarikan dalam diri Diego akan suatu hal, fikirannya berkelanan entah kemana. Angin sejuk berhembus menggugurkan beberapa lembar daun di pohon oak yang jatuh menimpa rambut dan kepalanya. Diego tak mengindahkan terpaan lembut udara itu, hingga tanpa diduga sebuah bola basket terlempar dan menggelinding ke hadapannya.

Bola itu berhenti tepat di depan kedua kakinya, membuat Diego beralih menatap benda bulat itu. Sebuah bola yang sering ia mainkan sewaktu kecil, hanya waktu ia kecil saja... sendirian. Tak pernah ia sentuh lagi benda itu, namun Diego cukup tahu bagaimana cara dan aturan permainannya.

Terdengar suara langkah kaki yang mendekat ke arahnya, bayangan seseorang memayungi bola basket itu dari teriknya cahaya matahari. Diego menaikkan pandangannya, menatap siapa gerangan yang sudah berdiri di hadapannya dengan penuh peluh di kening dan pelipisnya.

Tatapan keduanya bertemu, Diego menatap sepasang iris hazel yang terang tersorot cahaya matahari. Keringat bercucuran dan menetes dari dagu pemuda itu, nafasnya sedikit terengah dengan wajah yang sedikit memerah penuh keringat. Raut wajahnya sedikit berseri, surai hitamnya nampak sudah kelimis dan layu oleh keringat.

Hati yang telah lama tiada | On Going✔Where stories live. Discover now