• 09 || germang

Start from the beginning
                                    

"... Tampar aku, Blaze." titah Ice, nafasnya tak beraturan. Blaze yang mendapatkan perintah dari kembarannya itu mengerutkan keningnya, kebingungan. "Tampar?" ulang Blaze memastikan.

Ice mengangguk. Menepuk pelan pipinya, memberi isyarat pada kembarannya untuk segera menampar nya. "Kalau keras atau sakit, jangan ngadu ke Gempa ya!"

"... Ya jangan keras keras juga!" Ice menutup matanya, mempersiapkan dirinya.

Baiklah, Blaze mengusap kedua telapak tangannya, lelaki api itu mengukir seringai yang cukup menyeramkan.

"... Kasih aba aba dulu ya─"

SLAP!

Tamparan yang cukup keras. Ice mengaduh kesakitan saat merasakan tamparan yang begitu keras mengenai pipinya, tanpa aba aba.

"Brengsek! Kasih aba aba dulu, sialan!" marah Ice. Blaze hanya menyeringai, sama sekali tak merasa bersalah. Ice mengaduh kesakitan, di usap nya pipi nya yang tampak memerah tersebut.

Tunggu, bukan itu soalan utamanya.

Ice tercengang, yang lagi lagi membuat Blaze bingung dan sedikit kesal.

Tamparan tadi sakit, sakit sekali, bahkan meninggalkan bekas luka. Itu artinya, Ice sama sekali sedang tak bermimpi. Dan apa yang ia alami kurang lebih sebulan lalu hanyalah mimpi, mimpi yang terasa sangat nyata.

"Ini bukan mimpi kan?" lirih Ice pelan, Blaze mendengus kasar mendengar nya, bosan.

"Udah ditampar masih aja nganggep ini mimpi. Kek nya lo perlu di mutilasi dulu baru sadar ini dunia asli. Cepet bangun, efek belum makan malam tuh! Gempa, Halilintar dan yang lainnya udah kumpul buat makan malam." Blaze menarik lengan Ice, memaksa sang insan untuk keluar dari ranjang kesayangan itu.

"Bukannya mereka udah mati ...─"

Kalimat Ice barusan membuat Blaze memasang ekspresi kaget bukan main, "Astaga, Ice! Tega amat lo ngatain mereka udah mati! Ya belum lah, bisa kacau hidup kita kalau mereka semua mati!" Blaze menggelengkan kepalanya tak habis pikir dengan suadaranya yang baru saja terbangun dari kematian kecil itu.

Mulut Ice terkunci rapat, dibiarkan nya Blaze menuntun dirinya terus sampai ke lantai dasar. Tempat mereka biasanya Aryasatya bersaudara itu berkumpul.

Mereka menuruni tangga kayu yang menjadi satu satunya akses untuk turun dari lantai dua, ke lantai dasar. Langkah demi langkah Ice jalani dengan rasa waswas dan masih di selimuti ketakutan.

Apa benar saudara saudaranya masih hidup?

Tepat saat mereka sudah menginjak pijakan anak tangga terakhir, tiba tiba saja Ice memberhenti kan langkahnya, membuat Blaze juga turut memberhenti kan langkahnya.

Ice menggigit bibirnya. Tepat di depan matanya, seluruh saudara Aryasatya berkumpul di meja bundar yang biasanya mereka gunakan untuk makan bersama tersebut.

Aryasatya bersaudara itu terus tertawa, saling melontarkan pertanyaan konyol atau candaan tak masuk akal, meramaikan gelapnya malam hari yang terkenal dengan keheningan nya.

"Apalagi, Ice?"

Ice tak bergerak dari tempatnya.

Dalam mimpi nya yang terasa sangat nyata itu, hampir seluruh saudaranya gugur. Gugur satu persatu.

"ICEEE! SELAMAT PAGI!!" sapa adiknya Thorn, saat menyadari kedua saudaranya sudah berdiri tegak di ambang tangga.

Thorn melambaikan tangannya, memberikan sapaan hangat. Hal yang biasa Thorn lakukan setiap hari nya. Senyuman lebar terukir jelas di wajah Thorn yang selalu berseri itu.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Apr 22 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

𝗦𝗔𝗗𝗥𝗔𝗛 : escape or die || BoBoiBoy Fanfic [ 𝗢𝗚 ]Where stories live. Discover now