Chapter 4: Beginnings and memory.

17 3 0
                                    

"Eh?"

Alice tertegun seketika, sesaat setelah Knill mengatakan jika Alice akan dipertemukan dengan sang penguasa kekaisaran.

"T-tapi..."

"Yang Mulia baginda kaisar ingin bertemu dengan Anda sebelum pesta pendirian kekaisaran tiba," jelas Knill memotong ucapan Alice.

"T-tapi, ini tiba-tiba sekali. A-aku bahkan belum sehari disini dan Yang Mulia baginda kaisar... ingin menemuiku?" tanya Alice merasa hal tersebut terasa mendadak.

"Besok Anda akan menemui beliau pukul 10 pagi, beliau ingin menemui Anda di ruang takhta.
Selain itu, Yang Mulia ingin memastikan apakah Anda pengguna sihir elemen cahaya," jawab Knill sembari berdiri dari duduknya dan berjalan mendekati Alice.

Knill kemudian menyerahkan sebuah amplop berwarna biru tua yang telah dicap memakai stempel kekaisaran.
"... terimakasih." Alice lalu menerima amplop berwarna biru tua itu dan menatap cap merah yang menutup amplop tersebut.

Ada begitu banyak hal yang terjadi kepadanya setelah acara debutante berakhir.
Alice sama sekali tidak membuat permintaan untuk menjadi penyihir elemen cahaya yang dilindungi, bahkan diberi pengawasan oleh organisasi bakat sihir juga pihak kekaisaran.

Alice bagaikan mendapatkan hadiah utama dalam sebuah lotre atau... sebaliknya ia malah mendapatkan jebakan?

Sewaktu dipanti asuhan ia adalah anak yang hanya memiliki mimpi untuk hidup aman dan damai di panti asuhan tempat ia diasuh sejak masih bayi.
Alice sama sekali tidak menduga jika kekuatan sihir yang ia miliki adalah elemen yang telah punah sejak 100 tahun yang lalu.

Bahkan perpisahan dengan ibunya saat itu sangatlah singkat baginya, dan... kepergiannya membuat kakak-kakak dan adiknya menangis histeris.

Sehingga Alice tidak rela meninggalkan mereka dan pindah ke tempat yang penuh kemegahan ini.
Aah... disaat seperti inilah ingatannya akan langsung memutar kenangan pahit hingga membuatnya ingin menangis.

Ia mengingat kala ibu asuhnya menghampirinya kekamar dan memanggilnya...

"Alice!"

Seorang wanita paruh baya dengan rambut ungu pudar dan memiliki netra berwarna merah itu terdengar memanggil.

"Ya, ibu?" tanya Alice, saat melihat ibunya telah berada di ambang pintu kamarnya.

Alice kemudian melirik kearah name tag yang ibunya gunakan, ia langsung menyadari jika ada kunjungan tamu yang datang ke panti asuhan.
Karena jika ada tamu yang datang ke panti asuhan, maka ibunya akan menggunakan name tag tersebut. Sebaliknya jika tidak ada tamu, maka ibunya tidak akan menggunakan name tag tersebut.

Alice lalu membaca nama yang tertulis di name tag tersebut.

'Dyeza Ashil'. Itulah nama ibunya.

"Apa ibu boleh masuk?" tanya Dyeza.

"Boleh, masuklah ibu," jawab Alice kemudian duduk di atas tempat tidur saat ibunya mulai menggeser kursi belajarnya dan meletakannya dihadapannya.

Ibunya lalu duduk dikursi belajar yang langsung menghadap kearah Alice.

"Bukankah ada tamu dibawah? Kenapa ibu kesini?" tanya Alice saat ibunya itu seketika menggenggam kedua tangannya erat.

"Alice, dengarkan ibu."

Alice yang melihat ibunya berubah menjadi serius, kemudian langsung diam untuk mendengarkan.

"Ada apa ibu?"

"Apa kau masih mengingat cerita yang ibu kemarin bacakan saat sebelum kau tidur?" tanya Dyeza sembari menatap Alice lembut.
"Iya, aku masih mengingatnya. Cerita tentang pahlawan pengguna sihir elemen cahaya mengalahkan kaum iblis, kan?" tanya Alice yang seketika berubah antusias.

"Iya, apa kau menyukainya?" tanya balik Dyeza.

"Iya, aku menyukainya. Aku bahkan bisa membayangkan betapa hebatnya pahlawan itu saat mengalahkan iblis," jawab Alice mulai bersemangat.

"Apa... kau ingin menjadi pahlawan itu?" Dyeza kembali bertanya sembari menatap Alice sayu.

"Wahh! Tentu saja aku mau ibu! Aku ingin kuat seperti pahlawan itu!" Alice menjawab sembari berseru gembira.
Dyeza yang melihat kegembiraan anak asuhnya itupun hanya bisa tersenyum.

"Kau ingin menjadi pahlawan itu, kan? Kalau begitu... bagaimana jika Alice besok pergi?" tawar Dyeza yang membuat Alice tersentak kaget dan langsung kebingungan.

"Eh? Pergi kemana? Dengan siapa? Apa ibu juga akan ikut?" tanya Alice beruntun saat mendengar tawaran ibunya itu.
"Tidak, ibu tidak akan ikut. Besok akan ada pihak kekaisaran yang datang kesini untuk menjemput mu Alice, kau masih ingat cerita jika para pahlawan sihir elemen cahaya yang musnah karena kutukan iblis, kan?" tanya balik Dyeza.

Ingatan Alice seketika bergulir pada bait pertengahan kisah yang dibacakan ibunya kemarin jika... 'kutukan datang kepada para pengguna sihir elemen cahaya, setelah peperangan berakhir'.

Tapi apakah itu penting sekarang sampai membuat ibunya berkata seperti itu padanya?

"Jadi aku akan pergi sendirian? Apa ibu menyerahkan ku seperti kakak-kakak yang diserahkan kepada orang tua lain? Tidak! Aku tidak mau! Aku tidak mau pergi, aku hanya ingin disini bersama ibu juga kakak-kakak dan adik." Alice kini mulai merengek.

"Alice dengarkan ibu nak, ibu tidak membuang mu. Ibu hanya ingin... kau memiliki masa depan," lirih Dyeza kemudian memeluk Alice erat.

Tidak ada ibu yang mau berpisah dengan anaknya Alice, walaupun ibu mu yang sekarang bukan ibu kandung mu. Namun, kasih sayang seorang ibu kepada anaknya tidak bisa diukur sedikitpun.

Dyeza sangat menyayangi Alice dan ia sebenarnya tidak ingin berpisah dengan Alice.
Tapi... apa yang harus ia lakukan sekarang? Kepergian Alice dari panti asuhan tidak dapat ia cegah sedikit pun. Dikarenakan Dyeza tahu, jika Alice adalah harapan terakhir bagi dunia Emris ini.
__

Keesokan harinya, Alice terbangun tepat pukul enam pagi. Biasanya ia akan terbangun karena bunyi lonceng panti asuhan yang berbunyi nyaring.

Setelah bangun, Alice dan kakak-kakak juga adik-adiknya akan mengantri untuk mencuci muka. Setelahnya berganti pakaian untuk berolahraga pagi dihalaman depan panti asuhan yang biasanya dibimbing oleh kakak-kakaknya.

Tapi sekarang...

Hanya ada keheningan pagi yang damai dan sinar mentari pagi yang mulai bersinar.
Suara burung yang berkicauan mulai terdengar diluar kamarnya, Alice kemudian turun dari tempat tidur dan berjalan menuju pintu balkon.

ketika Alice membuka pintu balkon, angin pagi langsung saja menerpanya.

"Hatcuh!"

"Huu... dingin, kenapa anginnya sedingin ini? Sewaktu dipanti asuhan biasanya tidak sedingin ini," ujar Alice sembari menggosok-gosokan kedua tangannya.
Pemandangan kamarnya yang mengarah langsung ke halaman depan, membuat Alice dapat melihat pemandangan pekarangan mansion.

Akan tetapi sesaat kemudian terdengar suara ketukan pintu, "Nona Alice, waktunya Anda bangun!" Suara seruan pelayan dari luar pintu kamarnya membuat Alice langsung bergegas kedalam kamarnya untuk membuka pintu.

"Oh? Anda telah bangun rupanya. Padahal saya hanya ingin memberi kode pertama untuk Anda bangun, maaf telah membuat Anda tidak nyaman dengan teriakan saya," jelas seorang gadis pelayan berambut coklat yang dikepang dua itu.

"Tidak apa-apa, lagi pula aku sering bangun pukul enam pagi," balas Alice sembari tersenyum ramah.
"Sarapan pagi akan dimulai jam tujuh pagi nanti maka dari itu saya akan membantu Anda bersiap-siap," ucap gadis pelayan itu.

"Baik, mohon bantuannya."
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
Next yok.

The Secret Witches: Last StarlightNơi câu chuyện tồn tại. Hãy khám phá bây giờ