26. Perjamuan

6 2 0
                                    


Setelah kunjunganku ke Pohon Dwisangga tadi, yang bercokol di pikiranku hanya satu hal.

Rasa lapar.

Baru kusadari, aku belum makan apa-apa selama empat hari empat malam. Malah lebih. Terakhir aku ingat makan adalah malam sebelum aku mengetahui adanya pasukan Kaum Durjana yang tengah mengejarku ke dalam hutan. Itu pun hanya beberapa helai rebusan akar-akaran dan beberapa butir biji-bijian.

Aku tidak menanyakan apa-apa pada Demulani. Tidak tentang penglihatan yang kualami, pun tentang Krida dan Kiara yang Demulani sebut-sebut sebagai sembahan penduduk Bukit Duri. Yang pertama meluncur dari mulutku adalah, "Aku butuh makan."

Aku bahkan tidak ingat bagaimana Demulani aku dan Demulani kembali dari hutan. Tiba-tiba saja, aku telah duduk bersila di hadapan deretan daun-daun pisang yang membentang di tanah, mengelilingi lapangan rumput yang berada di tengah-tengah pemukiman mereka. Aku diapit seluruh penduduk Bukit Duri yang telah membentuk sebuah lingkaran besar mengikuti peletakan daun-daun itu.

Di hadapan kami, telah tersaji bergunung-gunung hidangan. Tumpukan daging, khususnya babi dan unggas, bertumpuk hampir setinggi tubuh seekor kuda. Di sebelahnya, ada onggokan ikan bakar dan makhluk-makhluk air lainnya yang macamnya mungkin beratus-ratus. Banyak di antaranya yang ditambahkan kuah tertentu hingga mirip dengan masakan gulai yang sering dimasak untuk hidangan Sang Paduka. Banyak pula berbagai macam sayuran dan buah-buahan segar, di antaranya sebagian belum pernah lihat selama aku hidup. Bahkan, tersaji beberapa makanan yang diolah dari ulat dan cacing, yang mengingatkanku pada masa kecilku berburu hewan-hewan melata di desaku dahulu. Belum lagi, bergentong-gentong minuman yang berisi susu binatang, sari buah, dan tentu saja, tuak. Baunya mirip dengan tuak yang biasa disajikan kepada Kaum Durjana, hanya saja warnanya berbeda.

Keseluruhan makanan dan minuman di hadapanku nampak lebih banyak jumlahnya dari yang pernah disajikan di Kuil Digdaya sejak Kaum Durjana mengambil alih. Tapi, ada satu yang kurang. Satu hal yang paling penting.

Kepalaku menoleh ke kiri dan kanan, mencari nasi. Tidak kutemukan.

Sebagai gantinya, sejumlah perempuan dan laki-laki, mulai dari yang usianya kurang dari dari satu dasawarsa hingga yang renta, sibuk membagikan satu mangkuk berisi sesuatu yang putih dan cenderung tembus pandang. Seperti bubur, namun lebih halus, dan amat sangat kental dan lengket.

Mangkuk jatahku disajikan oleh seorang perempuan lanjut usia dengan rambut yang hampir sepenuhnya uban dan dibiarkan mengurai sampai ke pahanya. Tubuhnya nyaris telanjang, hanya tertutupi sehelai kain yang dililitkan dengan sedemikian rupa.

Perempuan tua itu pasti bisa membaca kebingungan di wajahku, karena dia lantas bertanya dengan logat kental, "Kau pernah makan papeda sebelumnya, wahai pendeta Gankasha Prana?"

Aku menatap isi mangkukku dan menggeleng pelan.

Perempuan tua itu menunjukkan gusi yang hanya menyisakan dua gigi belakang. Untuk ukuran usianya, siapa sangka bahana suaranya mampu menembus riuhnya percakapan orang-orang di sekitarku. "Makanlah yang banyak! Kalau sudah ketagihan, kau akan lupa akan rasanya beras dan nasi. Jangan lupa habiskan tuaknya. Tuak ini dari buah enau, rasanya kujamin jauh lebih sedap dari tuak dari daerah asalmu!"

Perempuan tua itu mengingatkanku pada Mak Wungi. Sungguh, aku rindu nasi yang biasa dihidangkan olehnya. Nasi empuk, padat, dan hangat mengepul. Kadang ditanak dengan santan, jahe, dan serai. Rasanya bertahun-tahun sudah aku tidak merasakan nikmat masakannya.

Tapi keroncongan di perutku sudah membisingi gendang telingaku, membuatku tak peduli lagi apa yang kumasukkan ke mulutku. Aku makan tanpa berpikir. Segala yang diletakkan di depanku, aku tandaskan. Laparku sudah tak masuk akal rupanya.

Semesta AlaskafacaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang