18. Pengakuan Dosa

9 3 0
                                    


Pengakuan dosa. Benak Naiang samar-samar mengingat sebuah percakapan antara dirinya dan Beriang entah berapa purnama lalu.

"Nanti kalau kita sempat, antarkan Ayah bertemu pendeta Alaskafaça ya."

"Untuk apa, Yah?"

"Ayah mau melakukan Pengakuan Dosa. Khawatirnya, Ayah terlanjur dipanggil kembali ke pelukan Sang Devita."

"Ayah ada-ada saja," balas Naiang, yang benar-benar tidak mau memikirkan kemungkinan dirinya ditinggal Beriang. "Memangnya masih ada Pendeta Alaskafaça di desa situ?"

"Ayah kenal satu. Dia juga sama dengan kita, diam-diam masih menyembah Sang Devita. Kau harus berjanji untuk membawa Ayah bertemu dia ya, nak. Ayo, janji dulu."

Naiang menghela napas dan mengiyakan sekenanya saja. Dan tidak lama setelah itu, percakapan itu pun pudar dari ingatannya.

Sampai sekarang.

"Peng... ak..."

"Baik, Yah, baik," Naiang tergegap-gegap di antara air mata dan genangan darah, berhati-hati mencoba membetulkan posisi Beriang. "Aku akan mengantarkan Ayah kepada pendeta yang ayah maksud. Ayah jangan bersuara dulu, ya? Simpan tenagamu, Yah..."

Dengan mengumpulkan tenaganya yang masih tersisa walau sedikit, Naiang bangkit sembari memanggul Beriang di punggungnya. Beruntung, tulang-tulangnya yang tengah patah dan bergeser di banyak tempat itu masih sanggup mengangkat ayahnya.

Naiang ingat pendeta yang Beriang maksud. Dulu ketika ia masih kecil dan ayahnya masih rutin menyambangi Kuil Alaskafaça di pusat pasar desa, pendeta itu-lah yang rutin menyambut mereka, ikut membantu menurunkan patung-patung Sang Devita dari gerobak tua Beriang dan mengangkutinya ke dalam. Pendeta itu usianya tidak setua Beriang, namun tidak juga bisa dibilang muda. Naiang masih terbayang wajah tirusnya yang beralis tebal dan berhidung agak bengkok ke depan, dengan beberapa utas kerutan di sudut kedua matanya. Pendeta itu pernah menimang Naiang saat ia masih berusia di bawah lima warsa, tertawa-tawa sambil bilang bahwa ia lebih mirip bocah lelaki ketimbang perempuan.

Kalau tidak salah, namanya Edang Sanimir.

Dahulu, Edang Sanimir tinggal di Kuil Alaskafaça di desa. Namun setelah kaum penyembah Deva Rangraka mengambil alih kekuasaan, Beriang mendengar berita kalau Edang Sanimir disingkirkan dari kuil dan diasingkan ke pedalaman hutan dekat sungai yang mengalir di belakang desa. Dia-lah satu-satunya orang yang, sejauh Beriang yakini, masih diam-diam menyembah Devita Alaskafaça.

"Aku pernah beradu mata dengannya suatu hari ketika kita sedang berjualan di desa, nak," tutur Beriang kala itu. "Dan aku langsung tahu. Meskipun kami hanya bertukar pandang dan tidak mengucapkan apa-apa, tapi aku tetap tahu. Dia masih jadi umat taat Sang Devita, sama sepertiku. Oleh karena itu aku hanya akan mempercayakan pengakuan dosa-ku padanya nanti."

"Tapi Yah, mengapa pula Ayah perlu melakukan pengakuan dosa kalau Ayah sampai sekarang masih jadi umat yang taat? Bukankah pengakuan dosa hanya untuk mereka yang pendosa? Ayah kan bukan?"

Beriang terdiam. Terlintas lagi warsa-warsa kelam sepeninggal Kamali. Ketika Beriang bahkan menghadapkan wajahnya ke hadapan patung Sang Devita-pun dia enggan. Ketika hidupnya serasa terjebak di dalam terowongan dengan kegelapan tanpa putus.

"Ada beberapa hal yang memang kau terlalu muda untuk pahami, Naiang anakku."

Dan dengan kata-kata itu, Beriang menyudahi pembicaraan mereka.

-

Untuk mencapai tempat pengasingan Edang Sanimir sebenarnya tidak terlalu sukar. Hanya saja, perjalanan ke sana membutuhkan kaki yang cekatan dalam mendaki licinnya batu-batu kali agar tidak sampai tergelincir dan raib ditelan derasnya arus sungai.

Semesta AlaskafacaWhere stories live. Discover now