1. M a n t r a

99 15 6
                                    


Aku berjalan melewati gerbang dan berhadapan dengan pasar yang ramai dan penuh tipu daya.

Pedagang ikan menjual mujair busuk yang dia rendam pakai cuka supaya kelihatan segar. Tukang emas diam-diam menambahkan baja yang dia sepuh kuning mengilat ke dalam campuran logam murninya, dan mendapatkan laba tiga ratus dua puluh tiga kali lipat. Deru angin menerbangkan ujung anyaman jerami penutup kios-kios reyot berisi para pedagang miskin yang tidak punya cukup keping perak untuk memperbaiki lapak mereka. Teriakan demi teriakan barang yang dijajakan berdengung seperti kerumunan lebah.

Di sudut-sudut tembok dan di belakang tumpukan sampah, ada saja pengemis beragam usia yang berkubang kotorannya sendiri. Aku menghela napas, berusaha tidak membiarkan rasa kasihanku tampak dari rautku. Aku di sini untuk satu tujuan, dan hanya satu tujuan saja. Tidak boleh ada hal yang membuatku lengah.

Tepat di hadapanku, di tengah jalan, seorang anak kecil yang hanya tulang berbungkus kulit berbaring sembari menengadahkan tangannya kepadaku, meminta belas kasihan. Wajah memelasnya hanya punya satu mata, dan tubuhnya penuh koreng yang dikerubungi lalat. Aku melangkahinya.

Kakiku akhirnya membawaku ke sebuah kios yang cukup besar. Lapaknya hampir menguasai seluruh tikungan jalan. Berbagai macam bangkai—unggas, lembu, hewan bertaring, dan hewan-entah-apa lainnya—bergantungan dari kait-kait baja yang terpasang di tiap sisi kios. Berdiri di balik bangkai-bangkai tersebut, ada lelaki legam tinggi besar tengah menyayati kulit seekor kerbau yang sudah tidak berkepala. Sesekali darah terciprat dari pembuluh-pembuluh yang belum terputus di tubuh binatang itu. Aku segera mengalihkan pandanganku ke tanah. Tanganku yang mulai dibanjiri keringat kukepalkan erat, menahan rasa mual yang mengaduk-aduk perutku saat daging itu dikerat, membuyarkan bau anyir yang kental ke udara.

Si penjual daging akhirnya menyadari aku berdiri di sana, dan seketika mengacungkan goloknya padaku.

"Cari apa Tuan? Semuanya segar, baru disembelih kemarin," ujarnya. Suaranya licin seperti darah yang menggenangi lantai kiosnya, dan ada bekas luka di ujung kiri mulutnya, memberi kesan seolah bibirnya mencong ke kiri.

Aku memperhatikan kepala seekor babi hutan yang berayun-ayun hanya dua jengkal dariku. Moncongnya sudah membiru, dan sepintas kulihat beberapa ekor belatung mengubur diri di lubang telinga si babi. Segar, ya.

Dengan menegakkan tubuh setegap yang aku bisa, aku menelan rasa panik yang hampir membuatku gila.

"Ada menjangan?" tanyaku.

Wajah si tukang daging mendadak cerah. "Oh, ada, ada, tentu saja ada! Tapi seperti yang Tuan tahu, menjangan tidak murah, Tuan..."

Aku menuangkan isi kantung uangku ke atas meja kiosnya. Koin-koin perak bergemerincing di antara daging-daging kerbau yang berlendir penuh lalat.

"Saya beli satu ekor penuh. Pastikan yang benar-benar segar."

Mulut si tukang daging semakin melebar melihat setiap keping yang keluar dari kantungku, membuat bekas lukanya semakin menganga. Setelah meraup seluruh koin itu ke dalam saku celananya yang penuh bercak darah, dia bergegas pergi ke belakang kiosnya dan kembali membawa satu karung kulit besar yang dia campakkan di hadapanku. Aku memanggul karung itu tanpa berkata apa-apa lagi dan beranjak pergi, berusaha secepat mungkin untuk kembali ke gerbang. Kepanikan yang kurasakan tadi perlahan memudar seiring langkahku.

Sang penjaga gerbang, Kapi Tormak, tengah sibuk mengorek lubang hidung saat aku menghampirinya. Dia memperhatikan karung berdarah di punggungku dan menyeringai.

"Siapa yang baru saja kau bunuh, heh? Sundal yang baru selesai kau gagahi?" tanyanya saat aku melangkahi gerbang.

Aku tidak menggubrisnya. Tormak menjulurkan kakinya, menendangku tepat di betis dengan alas kaki berduri kawatnya. Aku terjerembap ke depan, mengundang kekehan bajingan itu. Aku bangun masih tanpa berkata apa-apa, meski betisku mulai mengalirkan darah yang lebih segar dari yang merembes dari karung di punggungku. Di belakangku, penjaga gerbang itu berseru, "Bilang sama si semok Manikam itu, siap-siap aku datangi biliknya! Hahahaha!"

Semesta AlaskafacaWhere stories live. Discover now