5. Malam Merah

19 8 1
                                    

Selama aku menjadi cantrik hingga akhirnya didaulat menjadi pendeta muda, aku tidak pernah punya kekhawatiran mengenai Kaum Durjana. Pikirku, mereka tinggal nun jauh di sana. Pengaruh mereka mana mungkin bisa menembus kota kami, Gankasha Prana, tempat Kuil Digdaya berdiri. Kota kami memang tidak hanya berisikan umat Alaskafaça, namun ratusan tahun dia sanggup berdiri dengan damai dan makmur tanpa pemimpin atau pun barisan pasukan pertahanan.

Warga sekitar kuil adalah jemaat Alaskafaça yang paling taat. Mereka tidak hanya rutin datang untuk beribadat, namun juga rutin menyumbangkan hasil panen dan dagangannya secara sukarela untuk makanan para pendeta.

Setiap tahun, ada saja puluhan orang tua yang membawa anak mereka ke kuil, meminta kesediaan para pendeta agar mau menerima anak-anak mereka menjadi cantrik atau murid bimbingan pendeta, yang kelak akan menjadi pendeta-pendeta baru. Jika kami menyanggupi, mereka akan bersimpuh penuh rasa terima kasih di kaki kami. Keesokan harinya, mereka akan memastikan setiap orang yang mereka temui di jalan tahu bahwa anak mereka akan menjadi seorang pendeta, dengan nada penuh kebanggaan dan mata yang memancarkan rasa haru.

Seharusnya kami menyadari bahaya yang tengah mengintai kami. Pengaruh licik Kaum Durjana menyusupi kota selicin dan sesenyap gerakan ular sanca keling di semak-semak ketika dia bersiap mematukmu.

Mereka datang menyamar sebagai pedagang kelana. Orang-orang asing yang ramah dan penuh senyum. Menjajakan barang-barang yang sebelumnya belum pernah dikenal penduduk kota. Menawarkan beras kukus berbalut daun pisang berisi daging cincang secara cuma-cuma. Sebagian besar menolak, mengatakan maaf, kami umat Alaskafaça tidak memakan makhluk hidup kecuali tumbuhan. Para orang asing itu pun mengangguk, tersenyum, oh tidak apa-apa, kami mengerti. Mereka bergaul dan berbaur dengan mudahnya dengan penduduk kota. Mereka mempelajari kehidupan sehari-hari Gankasha Prana. Banyak di antara mereka yang akhirnya memutuskan menetap di kota, agar lebih mudah menjajakan dagangan mereka di pasar setiap paginya.

Semua dimulai ketika banyak mata menyaksikan seorang pemuda yang terlibat perkelahian dengan salah satu dari orang asing itu di tengah pasar kota. Orang-orang berkerumun untuk melerai mereka dan melihat bahwa pemuda itu hanya tergores wajahnya sedikit. Sementara lawannya, lelaki yang sudah tua renta dan bungkuk, mengucurkan darah segar dari segala sudut. Pemuda itu berteriak-teriak bahwa dia hanya membela Devita Alaskafaça yang telah dihina dan direndahkan oleh si pak tua. Setelah orang-orang membawa si pemuda itu pergi, lelaki tua itu meninggal di tempat kejadian.

Tak lama, seisi kota kembali riuh. Keluarga lelaki tua itu, yang bermukim di pinggiran kota, ditemukan sudah tak bernyawa semua. Istri, anak, dan dua cucunya yang masih balita. Mati diracun katanya. Tetangga bersumpah melihat beberapa pemuda yang mengenakan jubah sewarna tanah dan beserta ciri khas cantrik kuil Digdaya keluar masuk rumah itu sehari sebelumnya.

Desas desus itu pun berhembus lebih kencang dari angin di kala badai. Pendeta Kuil Digdaya pembunuh. Mereka ingin memusnahkan para pendatang baru di Gankasha Prana karena keyakinan yang berbeda.

Warga tak lagi mengantarkan anak-anak mereka ke kuil untuk menjadi pendeta baru. Sumbangan ke kuil pun kian menipis, hingga akhirnya berhenti sama sekali. Penduduk mulai berbisik-bisik dan melempar pandangan curiga saat kami melintas. Ceramah mingguan yang biasa kami gelar setiap pekan di taman kota perlahan semakin sepi. Perlakuan kasar dan makian pun sempat kami telan. Sempat beberapa cantrik kami pulang dengan keadaan berlumuran kotoran kerbau atau dengan kepala bocor habis dilempar kerikil oleh seseorang.

Hingga senja naas itu datang. Senja yang mengawali apa yang kami kini sebut Malam Merah.

Seluruh penghuni Kuil Digdaya telah berkumpul di aula utama untuk memulai ibadat malam. Seperti biasa, Adiluhung Naedang Hismanus memimpin upacaranya. Beliau baru saja selesai memimpin kidung pemujaan ketika sebuah suara dentuman yang maha menggelegar membuat kami semua terpaku di tempat.

Semesta AlaskafacaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang