"Cepet kasih ibu cucu yah Put," ucap Nisa pada Putri. "Biar Laila ada temennya, terus kalau kumpul kaya gini jadi makin rame."

"Insya allah." Jawab Putri. Sudah hampir satu tahun usia pernikahannya dengan Kafka tapi hingga detik ini tanda-tanda kehamilan belum kunjung ia rasakan. Padahal ia sangat menunggu hal itu, begitu juga dengan Kafka.

"Mah..." Mas Bagas memanggil Nisa, Nisa pun langsung menghampiri suaminya yang berada di dalam rumah. Kini Putrilah yang memijit pundak ibunya. Rasa sedih kembali Putri rasakan. Pundak ini yang dulu menahan berat badannya untuk ditimang dan pundak ini pula yang hingga detik ini selalu menjadi tempat bersandar paling nyaman untuk dirinya. Kini pundak ini terasa begitu rapuh. Banyak beban yang telah ia tanggung untuk kedua buah hatinya yang tak lagi mampu menemaninya melawan rasa sepi.

Perlahan tangan Putri terulur ke depan, ia dekap pundak ibunya dengan begitu erat. Tangis tak mampu ia bendung. Ia tersedu-sedu di atas pundak ibunya, seorang bidadari dunia yang Allah berikan untuknya. Seorang bidadari yanh kecantikannya tak akan lekang oleh waktu dan kebaikkannya tak akan terpupus oleh lamanya masa.

"Putri sa..sayang banget sama ibu..." ucap Putri disela sedu sedannya.

Kafka berdiri diambang pintu. Memperhatikan semuanya dengan perasaan yang terasa sendu.

Masih tetapkah ia pada pendiriannya setelah melihat derai air mata membasahi pipi wanita yang sangat ia cintai, tentu jawabannya tidak. Ia tak akan setega itu. Tak apa bila Putri kembali berjumpa dengan ia yang dicinta yang terpenting tak lebih dari itu, tak apa jarak jauh yang harus ia tempuh ke tempat kerjanya, ya jarak rumah ibu Putri sangatlah jauh. Butuh waktu hampir dua jam untuk perjalanan dari rumah ibu Putri ke tempat kerjanya itu pun kalau tidak macet, bila macet bisa jauh lebih lama dari itu, tapi dua hal itu tentu tidak akan sebanding dengan kebahagian Putri dan ibu.

"Kenapa Putri nangis." Nisa berhambur keluar. Ia menepuk-nepuk bahu Putri. Berusaha meredakan tangis Putri, ibu pun melakukan hal yang sama. Beliau mengusap lengan Putri dengan penuh kasih sayang. "Sudah Put... udah nangisnya kamu buat kakak sedih." Putri tak mampu mereda tangisnya. Sungguh hatinya terasa begitu sakit.

Tangis Putri baru reda saat ibu beranjak dari duduknya lantas berbalik memeluknya. "Kebahagian itu erat sekali dengan kesedihan. Tangis bisa menjadi tanda kebahagiaan yang luar biasa bisa pula menjadi tanda kesedihan yang tiada tara, namun ibu harap tangismu adalah tanda dari kebahagiaan yang tengah kamu rasakan." Ucap ibu lembut.

Putri berusaha untuk menghentikan tangisnya dan ia sungguh bersyukur karena mampu menghentikannya, namun tidak dengan sedu sedannya yang sesekali masih saja lolos melewati bibir tipisnya.

"Iya bu...Putri sangat bahagia." Ucap Putri penuh akan dusta.

***

Sinar menatari telah hilang, tak terlihat lagi. Sang gelaplah yang kini menyapa. Hujan turun dengan sangat deras disertai dengan angin yang bertiup kencag saking kencangnya pohon-pohonpun dibuat pontang panting.

Waktu magrib telah tiba, karena hujan yang sangat deras Bagas dan Kafka pun memutuskan untuk melaksanakan salat magrib di rumah.

"Asik solatnya bareng-bareng!" Seru si kecil Laila sambil menghamparkan sajadah kecilnya, hadiah dari nenek lengkap dengan mukena berwarna merah muda dengan gambar kuda poni yang menggemaskan. "Ayah jadi imamnya yah."

"Om Kafka saja yang sekarang jadi imam." Ucap Bagas sambil menatap Kafka.

Si kecil Laila langsung menatap ke arah Kafka dengan mata menyelidik. "Om Kafka memangnya bisa jadi imam?"

Kafka langsung menggeleng. Ia sadar dan tahu diri. Bacaan Al qurannya tak sebaik Bagas, jadi yang lebih cocok jadi imam tentulah Bagas bukan dia.

"Tuh Ayah, Om Kafka nggak bisa." Celoteh Laila.

Bagas pun akhirnya menjadi imam. Semuanya melaksanakan salat magrib dengan khusyuk kecuali Laila. Disaat Ayahnya membaca surah pendek dia malah bernyanyi balonku ada lima. Hal itu tentu sangat mengganggu ke khusyuan dalam salat. Bukan hanya menyanyi lagu balonku Laila pun menyanyikan lagu yang pernah dia dengar dari temannya.. "ajojing ala ala ajojing."

Ibu, Nisa dan Putri, sebisa mungkin menahan untuk tak tertawa begitu juga dengan Kafka dan Bagas. Mereka benar-benar berusha untuk tetap khusyuk.

Setelah salat selesai Bagas dan Nisa langsung menegur si kecil Laila. Si kecil Laila mengangguk patuh.

"Nggak boleh nyanyi yah kalau lagi salat. Harus dibaca bacaannya." Ucap Putri dengan lembut ikut mengingatkan si kecil Laila.

Dan lagi-lagi si kecil Laila mengangguk dan tak lama saat yang lain berdzikir ia malah kembali menyanyi.

Hujan berangsur reda, begitupun dengan sang angin yang kini bertiup dengan tenang. Waktu isya beberapa menit lagi akan tiba. Kafka dan Bagas bergegas pergi menuju masjid. Si kecil Laila merengek ingin ikut namun tidak diberi ijin oleh sang ibu.

"Perempuan salatnya di rumah sayang bukan di masjid." Ucap Nisa tegas.

Salat isya kini di imami oleh ibu. Si kecil Laila tak lagi bernyanyi disaat salat berlangsung. Salat berjalan dengan penuh ketenangan.

Setelah salat isya berlangsung si kecil Laila langsung merengek ingin tidur ke kamar. Nisa pun langsung membawa putri kecilnya itu ke kamar. Di ruang keluarga kini tinggal ada ibu dan Putri, ibu duduk berselonjor sedangkan Putri duduk di samping kaki ibu sambil memijitnya.

"Ibu..."

"Apa..."

"Emm... aa...apa ibu mau ikut tinggal sama Putri dan Mas Kafka." Beberapa bulan yang lalu Putri pernah mengajukan pertanyaan yang sama pada ibu namun jawaban ibu tidak mau, dan sekarang Putri berharap ibu akan mau.

Ibu tersenyum lembut. "Maafkan ibu, ibu tidak bisa sayang." Dan ternyata jawabannya tetap sama.

Putri tak berniat untuk merayu dan membujuk ibu, ia tak ingin ibu tinggal bersamanya karena rasa kasihan atau bahkan terpaksa.

Pintu rumah terbuka, ucapan salam terucap dari Kafka dan Bagas yang baru pulang dari masjid. Keduanya mencium punggung tangan ibu.

"Nisa dan Laila ada di kamar," ucap Ibu saat Bagas menanyakan keberadaan istri dan Putrinya.

Bagas pun menyusul masuk ke kamar begitupun dengan ibu yang sudah merasa mengantuk. Putri dan Kafka pun memutuskan untuk ke kamar. Di kamar Putri langsung merebahkan tubuhnya di atas kasur. Rasa kecewa masih menyelimuti hatinya, tidak mudah untuk sirna.

Kafka ikut berbaring di samping Putri. Keduanya menatap hening ke langit-langit kamar yang tak lagi di terangi cahaya, hanya cahaya kecil yang menyelinap masuk dari cela jendelalah yang membias langit-langit kamar.

"Kamu marah?" Tangannya menyentuh tangan Putri. Putri tak menepis tangannya, namun tidak juga menjawab pertanyaannya.

Putri lebih memilih untuk memejamkan matanya. Berusaha untuk melupakan rasa kecewannya dengan tidur.

"Mulai besok kita akan terus tinggal bersama ibu."

Putri langsung membuka matanya dan menoleh ke arah Kafka. Kafka membalas tatapan Putri.

"Kita temani ibu di sini di rumah yang telah menyimpan banyak kenangan indah ibu bersama ayah." Ucap Kafka sambil membelai lembut pucuk kepala Putri.

Putri tak mampu mengucapkan kata apapun. Hanya tetesan air matalah yang mampu mengutarakan rasa terimakasihnya yang tak terhingga pada Kafka.

T B C

11 Syaban 1445H

Jangan lupa tinggalkan jejak 🥰

Bukan Pernikahan ImpianWhere stories live. Discover now