#19 Can I Have You Forever?

Start from the beginning
                                    

“Aku alergi kacang,” tolak Chayra sambil meringis. Ia memang alergi kacang, berarti juga pernah memakannya. Chayra ingat saat itu di minggu setelah ia bangun dari koma, Niar memberinya cokelat kacang bermerek sama dengan pemberian Afgan ini. Tanpa beban atau hati yang terasa mengganjal, Chayra memakannya sangat lahap. Lalu beberapa menit setelahnya barulah rasa tak nyaman dialami.

Bahkan tak putus asa Chayra memastikan bahwa kacang tidak akan berbahaya baginya dengan beberapa kali mengecek ke dokter.

Pikirnya, coklat kacang itu enak. Sangat enak. Banyak orang bilang “Akan rugi bagi mereka yang tidak memakan coklat kacang.”

Karena cokelat kacang memang seenak itu...

“Oiya, ikut Olimpiade sama Tres ya?”
Chayra mengangguk. “Pak Agung yang minta. Kenapa?”

“Gapapa, bagus aja menurut gue. Kalian bakal sering belajar bareng dan jauh dari Afgan.” Opini Delima.

“Apasih, aneh-aneh mikirnya.”

“Gue dengar, Afgan ikut.”

...

“Sakit tau!” Ringis Cia seraya memukul lengan Afgan. Bisa-bisanya menumpahkan alkohol langsung di atas luka pada dahinya. Alhasil Cia berteriak merasakan perih yang sakitnya menjalar di kepala.

“Kan udah tau gue gabisa ngobati, kenapa masih ngikut?” geram Afgan.
Sulit melarang seorang gadis keras kepala dan sok kuat seperti Cia.

Tadi di tengah lapangan yang cukup luas, dua kubu bertarung sengit. Dari rumornya, katanya ada murid SMA Manggala yang diperkosa hingga hamil oleh murid SMA Tirta Bangsa.

Mungkin masalah ini bisa diselesaikan oleh lembaga sekolah mereka masing-masing, namun nyatanya tidak menjamin. Lelaki tak bertanggungjawab itu kabur entah dimana.

Dan bagaimana Cia bisa turut andil dalam kegiatan yang bisa disebut “Demo Murid SMA Manggala” ini?
Dengan sukarela Cia menyusul ke tempat tawuran terjadi. Ia tidak ikut bertarung, hanya bagian Sie P3K. Tapi nyatanya di akhir season, Cia terkena lemparan batu yang menghantam pelipisnya. Alhasil darah keluar dari ujung alisnya disertai lebam yang saat ini semakin membengkak.

“Nah, sekarang lo pulang, gue antar.” Afgan memberesi obat dan antibiotik kemudian meletakkannya di tempat semula. Tepat di dalam kamar lelaki itu.

“Ayo!” ajaknya seraya memakai hoodie berwarna putih dengan setelan celana pendek hitam selutut.

“Gue bilang gimana nanti?” Tanya Cia. Usutnya mencari alasan supaya bisa menginap di rumah Afgan. Toh juga di rumah ini ada beberapa asisten yang tidur disini.

“Biar gue aja yang ngomong sama Tante Niar.” Afgan meraih pergelangan tangan Cia dan mengangguk kecil untuk meyakinkan gadis itu.

Mana bisa seorang Cia menolak ajakan pangeran tampan Afgan. Berdirilah gadis itu dan tiba-tiba sebuah hoodie berwarna putih melayang ke arahnya. Afgan yang melempar.

“Itu masih baru.” Ucapnya sambil membuka pintu kamar.

Cia mengerucutkan bibirnya, tatapan gadis itu memelas melihat Afgan.
“Masih mau disini...”

Afgan menghela nafas. “Nggak bisa, di rumah ini cowok semua,”

“Bi Suni, kan ada.” Sergahnya.

“Beliau balik ke rumah. Hari ini anaknya pulang dari Sumatera.”

“Really? Yaelah, gue mau ngerasain feel nginap di rumah lo...”

“Next time aja...” waktu pernikahan gue sama Kakak lo. Lanjutnya dalam hati.Afgan keluar dari kamar meski Cia masih ingin merengek agar dibolehkan tidur di rumahnya. Bila tidak begini sampai jam 1 dini hari pun gadis itu masih menjadi penghuni kamarnya.

“Lo pulang dulu, Kak,” suruh Cia pada Afgan.

“Gue nggak disuruh mampir?”

Cia terkekeh kecil. “Di rumah gue cewek semua,” jawabnya mengulang ucapan Afgan ketika di rumah lelaki itu.

“Lo masuk dulu,” suruh Afgan.

“Nggak, lo duluan.” Cia mengulang perkataan yang sama.

Afgan menghela nafas, disentuhnya kedua bahu Cia, kemudian ia balik agar membelakanginya. “Kalau gini terus yang ada gue nginap di rumah lo.”

Cia berjalan memasuki rumah setelah Afgan sedikit memberi dorongan lewat bahunya. “Bye, hati-hati!” ia melambai pada Afgan sambil berjalan mundur.

Tak membalas lambaian Cia, Afgan menunggu sampai gadis itu masuk ke dalam rumah, pintu yang sebelumnya terbuka sudah ditutup Cia. Ketika mereka baru saja sampai.

Afgan lega, meski sikap Cia begitu keras tapi masih ada yang selalu menunggu gadis itu di rumah. Setidaknya masih ada yang sangat menyayanginya selain dirinya.

Ting

Ponsel Afgan bergetar beberapa kali di dalam saku hoodie. Ia penasaran pada isi ponselnya dan memutuskan mengecek di dalam mobil. Ada pesan dari dokter kepercayaan Papanya sore tadi.

Dokter Dinda
Selamat malam, saya dokter Dinda. Hari ini jadwalnya check up ya. Pak Hasan sudah menjelaskan gejala yang kamu alami.

...

EFEMERAL [ 𝐒𝐔𝐃𝐀𝐇 𝐓𝐄𝐑𝐁𝐈𝐓 ]Where stories live. Discover now