---

ANGGA POV

Such a terrible day!

Kukira sepulang kerja aku bisa tidur dengan baik dan tenang, tetapi yang terjadi malah sebaliknya. Anakku menangis keras entah karena apa.

"Bi, itu Angkasa kenapa, sih?" Aku membuka kamar anakku dan melongokkan kepalaku ke dalam kamarnya. Terlihat Bi Sumi, pembantuku sibuk menenangkan Angkasa, anak laki-lakiku.

"Saya ndak tahu, Mas. Tiba-tiba pas bangun sudah nangis." Kata Bi Sumi sambil menepuk-nepuk punggung Angkasa.

Sebetulnya, Bi Sumi hanya bertugas untuk membersihkan rumah, tetapi semenjak ada Angkasa, tugasnya merangkap jadi Baby Sitter. Karena kasihan dengan Bi Sumi yang sudah berusia lanjut, akupun mengambil Angkasa dari gendongan Bi Sumi kemudian mempersilahkannya beristirahat.

Angkasa masih terus menangis di gendonganku, bahkan wajahnya sampai memerah dan air matanya mengalir deras. Di usianya yang ke 4 bulan ini, Angkasa sudah sering kutinggalkan dan ibunya alias mantan istriku sama sekali tak mempedulikannya.

Aku menikah dengan mantan istriku dulu karena dijodohkan oleh kedua orang tuaku. Dari awal aku sudah tidak suka melihat tingkahnya. Penuh kepalsuan. Tetapi aku malas untuk berdebat dengan orang tuaku, dan juga merasa tak ada salahnya mencoba untuk menikah, karena umurku memang sudah cukup matang.

Hasilnya? Hampir setiap malam kami selalu bertengkar, entah masalah apapun itu. Biasanya ia marah karena aku selalu pulang larut malam dan tak pernah memikirkan dirinya. Boro-boro memikirkannya, pasienku lebih menyita pikiranku dan tak ada satu ruangpun untuk memikirkannya. Dia tidak tahan dan memutuskan bercerai dariku, meninggalkan Angkasa bersamaku.

Aku menepuk punggung Angkasa yang sudah mulai berhenti menangis, walaupun masih sesenggukan. Rasa bersalah menyelimutiku, aku memang tak suka dengan mantan istriku, tetapi tak sepantasnya Angkasa ikut terkena imbasnya. Aku mencium keningnya sekilas kemudian membawanya ke kamarku. Kurasa, Angkasa akan kesepian jika kutinggalkan sendiri di kamarnya.

Aku membaringkan Angkasa di atas kasur berukuran King milikku. Aku membaringkannya di tengah-tengah kasur dan membatasi kanan kirinya dengan guling agar gerakannya terbatas dan tidak jatuh. Aku melihat ke arahnya yang sibuk menghisapi jari-jari kecilnya. Akupun menjauhkan tangannya dari bibirnya namun dia kembali memasukkan tangannya.

"No, Angkasa. Kotor." Kataku kemudian menjauhkan tangannya lagi. Ia merengek kecil sebelum memasukkan tangannya lagi. Aku menyerah dan membiarkannya menghisap tangannya. Lebih baik begini daripada ia menangis.

Aku duduk di meja kerjaku, mengamati beberapa paper pasienku sebentar kemudian menyusul Angkasa ke alam mimpi.

.

.

.

Keesokan harinya, aku bangun terlambat. Entah karena kelelahan atau tidur terlalu nyenyak. Setelah selesai mandi dan berpakaian, kulihat Angkasa sudah bangun dan mengoceh hal-hal yang tidak kumengerti.

Aku menciumnya sekilas kemudian bergegas pergi ke Rumah Sakit. "Bi, Angkasa ada di kamar saya. Nanti mungkin saya pulang cepat, Bi. Mau ajak Angkasa belanja." Kataku pada Bi Sumi.

"Iya, Mas." Jawab Bi Sumi sopan.

Sesampainya di Rumah Sakit aku langsung ditodong oleh seorang dokter muda, mengatakan bahwa ada satu pasien yang baru sampai tadi malam dan kondisinya cukup memprihatinkan. Ia menjadi tanggung jawabku karena rekan dokterku sudah memegang pasien lain.

Aku berjalan cepat menuju ruang UGD sambil membaca laporannya. Kecelakaan rupanya, ada benturan di kepalanya dan menyebabkan amnesia. Dalam hati aku menggerutu, pasien amnesia adalah pasien yang paling susah diatasi.

Aku menyibakkan tirai bilik pasienku, ternyata ada suster yang sedang menanganinya.

"Ini dokter Angga, Mbak. Yang akan menangani Mbak."

"Saya Angga." Kataku memperkenalkan diri, pasienku hanya tersenyum kecil.

"Nona Andira, bukan?" tambahku lagi.

Ia menangguk. "Seberapa parah kondisinya?" Tanyaku pada suster.

"Dia tak ingat apa-apa. Data yang bisa diambil hanya dari kartu identitas." Jawab Suster sambil memberikan selembar kertas berisi data Andira. Aku melihatnya sekilas kemudian memfokuskan pandanganku pada Andira.

"Apakah kamu merasa pusing?" tanyaku perlahan.

Dokter memang harus banyak bertanya karena ada pasien yang malu untuk mengeluh.

"Sedikit." Katanya dengan suara serak. Aku memberikannya segelas air dan membantunya untuk minum.

"Kamu tenang saja, semakin kamu mencoba mengingat, semakin kamu sakit. Nanti ingatan itu akan datang dengan sendirinya suatu saat. Disini tertulis kalau kamu tidak punya orang tua maupun sanak saudara. Dan orang yang menabrakmu juga entah dimana, tetapi kamu jangan khawatir, saya pasti akan membantu kamu dari segi biaya. Tak ada yang perlu kamu pikirkan, kesembuhan kamu adalah hal terpenting saat ini." Jelasku panjang lebar.

Bukannya aku sok baik, aku memang memperlakukan semua pasienku dengan sama jika mereka sebatang kara. Aku akan membiayai mereka karena menurutku uang pasti masih bisa dicari.

Andira mengangguk lemah mendengarkan penjelasanku. Wajahnya terlihat penuh kekuatiran. Sebenarnya tak ada luka fisik yang berarti, kepalanya hanya terbentur dan sedikit memar. Kakinya hanya lecet-lecet kecil. Dan juga tidak ada pendarahan.

"Apakah ada bagian tubuh lain yang sakit, Andira?" tanyaku padanya lagi.

Ia menggeleng. "Saya rasa, saya bisa pulang hari ini, Dok."

Tepat sesuai dugaanku, sebenarnya ia sudah bisa pulang nanti sore. "Nanti sore atau mungkin malam setelah saya selesai bekerja, saya antar kamu pulang, alamat kamu berdasarkan KTP yang kamu miliki sudah ada di saya."

"Terimakasih, Dok." Katanya sambil tersenyum.

Terpaksa kubatalkan janjiku mengajak Angkasa berbelanja.

DestinyWhere stories live. Discover now