40. Perubahan Leon

Start from the beginning
                                    

Aleta berusaha menolak ciuman tersebut, tubuhnya memberontak. Tetapi kedua lengan Leon yang menahan punggung dan bagian belakang kepala meredam semua usahanya dengan mudah. Bahkan dengan sangat mudah pria itu memindahkan tubuhnya ke atas tempat tidur.

Ciuman Leon begitu menggebu dan penuh emosi. Meluapkan amarah dan gairah pria itu pada tubuhnya. Tangan pria itu bergerak melucuti pakaian Aleta dengan kasar, penolakan Aleta sama sekali tak pria itu gubris. Hingga rintihan Aletalah yang membuat pria itu akhirnya berhenti.

“S-sakit, Leon.” Kedua tangan Aleta tertahan di dada Leon. Rautnya meringis karena himpitan tubuh Leon yang membuatnya dadanya terasa sesak. “Kau menyakitiku.”

Leon mengerjap, wajah pria itu yang menggelap tampak membeku. Sedikit terangkat dan tercenung menatap ringisan di wajah Aleta.

Aleta berguling ke samping, memegang perutnya yang terasa kaku karena mengeluarkan tenaga terlalu berlebihan untuk membebaskan diri dari tindihan Leon.

Leon terduduk di tepi ranjang, kepala pria itu tertunduk dengan kedua telapak tangan membekap wajah. Menggusur ke helaian rambut di kepala dan menjambaknya sembari mengerang marah. Lebih kepada dirinya sendiri.

Melompat berdiri, pria itu masuk ke dalam kamar mandi dan membanting pintunya dengan keras. Menyusul suara pecahan kaca yang mengagetkan Aleta.

Aleta ikut bangun terduduk, memperbaiki pakaiannya yang berantakan sebelum turun dari ranjang. Lalu masuk ke dalam kamar mandi.

“L-leon?” pekiknya melihat Leon yang duduk di lantai. Di tengah pecahan kaca yang berhamburan dengan tangan mengucurkan darah. “Tanganmu.”

Aleta menyambar handuk kecil di gantungan, menggunakannya untuk membebat luka di tangan pria itu.

Tapi baru saja handuk itu menyentuh tangannya, Leon mendorong Aleta menjauh. Ada kecemasan yang sempat menyelinap ke dadanya dengan sikap kasarnya tersebut. Tetapi dorongannya memang tak cukup kuat dan tak cukup menyakiti gadis itu.

 “Keluar, Aleta,” desisnya tajam.

“T-tang …”

“Kubilang keluar. Sekarang.” Desisan Leon lebih tajam.

Aleta tetap bergeming sesaat, sampai ia menyadari tatapan Leon yang dipenuhi emosi yang campur aduk dan pria itu memang butuh waktu sendiri. Aleta pun bangkit berdiri, meninggalkan pria itu di dalam kamar mandi seorang diri.

*** 

“Aleta tak akan pergi ke sana.” Ketegasan dalam suara Leon berhasil membuat Monica dan Nirel membeku. Menciptakan keheningan di ruang tamu apartemen Leon yang luas.

“Ini acara keluarga, Leon.” Monica mengabaikan tatapan peringatan sang suami yang memintanya untuk diam. “Kita melakukannya setiap bulan.”

“Aleta bukan lagi bagian keluarga kalian.” Leon menekan kalimat kalian hanya pada Monica.

“Dia putriku.” Nada suara Monica mulai diselimuti kefrustrasian akan ketegasan sang menantu. “Dan meski acara ini sangat membosankan, Maida dan Yoanna tetap saudaraku.”

“Putri tiri,” koreksi Leon. 

“Dia sudah seperti putri kandungku, Leon.” Monica tak mau kalah.

“Dan itu tak membuatnya menjadi putri kandung mama. Darahnya tak lebih kental dari darah yang kumiliki.”

Mulut Monica membuka nutup tak percaya dengan argument Leon yang berhasil mematahkan setiap jawabannya. Kali ini ia tak mengatakan apa pun ketika Nirel menggenggam tangannya.

“Kenapa mama begitu memaksa?” Leon memutar tubuh menghadap sang mertua. Melemparkan tatapan curiga. “Apakah mama memiliki tujuan lain dengan acara ini?”

“Apa maksudmu?”

“Acara makan malam ini tak hanya menjadi acara keluarga, kan? Sekaligus merayakan keluarnya Bastian dari rumah sakit.”

Kedua rahang Monica seketika terkatup rapat. Menelan napasnya yang tercekat. Ya, ia hanya ingin memastikan Aleta melihat bahwa Bastian sudah baik-baik saja dan tak perlu ada yang dicemaskan lagi oleh sang putri. “Ini juga demi kebaikan kalian berdua.”

“Ya, terima kasih untuk niat baiknya, Ma. Tapi … kami akan mengurus pernikahan kami sendiri.”

Nirel memberikan tekanan dalam genggamannya, membungkam apa pun yang akan dikatakan oleh sang istri lagi. Pandangannya beralih menatap sang putri yang duduk di seberang meja, memberikan satu anggukan dan berkata dengan suara rendah. “Baiklah. Kami akan pergi.”

Aleta hanya bisa menatap kepergian Nirel dan Monica dengan emosi Leon yang masih jauh dari kata baik. Bahkan papanya pun tak berkutik dengan titah seorang Leon. Sikap Leon pada papanya pun jauh berbeda dengan sebelumnya yang selalu penuh dengan hormat.

“Kau ingin pergi?” Leon yang pertama kali memecah kesunyian di antara keduanya.

Aleta menelan ludahnya. Bisa merasakan kalau pertanyaan menjebak Leon sengaja untuk menyudutkannya. Kepalanya bergerak menghadap pria itu dengan perlahan. Langsung terkunci oleh tatapan menelisik pria itu. 

“Kau tak akan mengijinkanku meski aku ingin pergi, kan? Kenapa selalu mempertanyakan hal yang sudah pasti? Pendapatku jelas tak lebih penting dari keputusanmu, Leon.” Suara Aleta keluar dengan penuh ketenangan, pun begitu sindiran yang terselip sama sekali tak tertutupi.

Leon terkekeh. “Kalau begitu bersiaplah.”

Mata Aleta terbeliak terkejut sekaligus terheran. “A-apa?”

Seringai Leon lebih tinggi. “Tidak seperti yang kau pikirkan, istriku. Kita akan membuat acara sendiri. Hanya kita berdua.”

Bukan Sang PewarisWhere stories live. Discover now