39. Amarah Leon

Beginne am Anfang
                                    

Mulut Yoanna membuka nutup tanpa suara.

“Dan … kau pikir Leon akan membiarkanmu pergi dengannya setelah kejadian ini? Jangan libatkan Aleta dengan pertengkaranmu dan Leon. Jika kau ingin melihat cucumu, pastikan dulu kau memperbaiki hubunganmu dengan Leon.”

“Kau tak bisa melakukan ini padaku, Monica.”

“Aku bisa,” jawab Monica dengan tegas. “Kau pikir aku tak tahu cara kotor apa yang kau lakukan untuk Leon demi mendapatkan kursinya saat ini?”

Wajah Yoanna seketika berubah sepucat mayat.

“Kenapa kau masih tak menyadari kesalahanmu, hah?”

“Aku melakukannya demi Leon.” Suara Yoanna seperti tercekik.

“Ya, lihatlah sekarang apa yang kau lakukan demi Leon,” ulang Monica penuh kesengitan. “Kau membebaninya dengan kekecewaan yang teramat besar, hingga melihat wajahmu saja dia tak sudi. Itu yang kau katakan demi Leon.”

Kali ini Yoanna benar-benar tak berkutik. 

“Demi keserakahan dan keegoisanmu,” koreksi Monica menambahkan.

*** 

Kesadaran Aleta  yang perlahan kembali disambut dengan rasa pusing yang begitu intens di kepalanya. Kelopak matanya bergerak perlahan, dan kesadaran yang mulai menyeruak di tengah kegelapan membuat suara-suara di sekitarnya semakin tertangkap jelas.

“Keluar!!” Suara tajam dan cukup keras tersebut berhasil mengagetkan Aleta, mengembalikan seluruh kesadarannya. “Keluar dan jangan pernah muncul di hadapan kami lagi!!”

Kedua mata Aleta terbuka, menatap langit-langit yang putih. Kepalanya kemudian bergerak ke samping, ke sumber suara yang menusuk telinganya tersebut. Matanya berkedip beberapa kali, menjernihkan pandangannya. 

Dengan kepala tertunduk dan tubuh yang bergetar oleh isak tangis. Langkah terseret Yoanna berjalan ke arah pintu. Menjauh dari sosok tubuh besar dan tinggi yang dipenuhi ketegangan di tengah ruangan. Amarah menguar dari tubuh Leon, yang memunggungi posisi pintu. Kemurkaan yang menyelimuti pria itu begitu besar, hingga tubuh Leon bergetar hebat demi menahan semua luapan emosinya sendiri. Yang berhasil membuat bulu kuduk Aleta meremang oleh rasa takut.

“Aleta?” Suara lembut yang berbanding terbalik dari gelegar di sisi kanannya, mengalihkan perhatian Aleta. “Kau sudah bangun, sayang?”

“M-mama?”

Monica mengangguk. “Ya. Mama di sini. Apa kepalamu pusing, haus, atau mungkin perutmu terasa tak nyaman?”

Aleta tak langsung menjawab. Pusingnya mulai reda dan perutnya terasa baik-baik saja. “Hanya haus,” jawabnya.

Monica lekas membantu sang putri sedikit menaikkan kepala ranjang dan mendekatkan gelas berisi air putih ke bibir Aleta.

Aleta mengambil beberapa tegukan, hanya sekadar membasahi tenggorokan. Saat ia mendorong tangan sang mama menjauh, Leon sudah berdiri di samping ranjang. “Apa yang terjadi?” cecar pria itu kemudian. Meski nadanya rendah, kemarahan di wajah pria itu masih tampak jelas.

Aleta tak langsung menjawab, mencoba mengingat apa yang terjadi di toilet sebelum ia jatuh pingsan. Berlian menjambak rambutnya dengan keras hingga kepalanya pusing. Tubuhnya terhuyung ke belakang dan kepala membentur dinding toilet sebelum jatuh ke lantai. Pandangannya menggelap dan tak ingat apa pun.

“A-aku … hanya terpeleset,” jawabnya lirih. Menurunkan pandangan demi menghindari tatapan menelisik pria itu yang begitu intens. Setelah melihat kemarahan pria itu pada Yoanna, yang adalah mama kandung pria itu sendiri baru saja. Ia tak mungkin memperburuk semuanya dengan mengatakan yang sejujurnya.

“Kenapa kau tidak hati-hati? Apa kau anak kecil?”

“Leon?” Monica menyela. “Aleta baru saja bangun dari pingsannya. Kenapa kau malah memarahinya?”

“Ini urusan kami, Ma.”

“Kau memang sama saja dengan mamamu. Hanya anak dalam kandungannya saja yang kalian pedulikan. Kau pikir keadaan Aleta tak lebih penting …”

“Ma?” Aleta lekas memegang lengan sang mama. “Ini juga kesalahan Aleta. Aleta yang tidak hati-hati.”

“Dan kau pikir dia lebih peduli ada anak kalian dibandingkan denganmu? Ibunya? Yang mengandung anak itu sendiri?”

“Ma?” Suara Aleta memohon.

Nada permohonan sang putri seketika menekan kekesalan Monica. Yang mendesah kasar dan membuang pandangan ke samping lalu duduk di kursi.

Leon yang juga menyadari kata-kata sang mertua pun ikut terdiam. Ia hanya terlalu mencemaskan keadaan Aleta. Salah satu urusannya di luar kota baru saja selesai ketika ponsel Aleta mengirim pesan yang langsung ia baca.

‘Leon, ini mama. Istrimu sedang ada di rumah sakit.’

Ia langsung membatalkan pertemuan selanjutnya dan kembali ke kota ini secepat yang ia bisa. Dan mendengar sang mama membawa Aleta berjalan-jalan hingga kecelakaan ini terjadi, tentu saja membuatnya semakin geram pada sang mama. Yang masih saja berusaha masuk kembali ke dalam hidupnya.

“Aku akan bicara dengan dokter untuk pemeriksaanmu selanjutnya,” ucap Leon kemudian berbalik dan berjalan keluar.

“Kalau dia bukan pimpinan Thobias dan bisa menggunakan kekuasannya dengan semena-mena seperti ini, mama dan papa pasti sudah mengurus perceraian kalian saat kau melarikan diri dengan Bastian,” geruta Monica begitu suara langkah Leon di balik pintu terdengar semakin menjauh.

“P-perceraian?”

Monica mengangguk, menggenggam tangan Aleta dan menatap sang putri dengan penuh penyesalan. “Kau mengorbankan kakimu untuknya. Dia pasti seseorang yang sangat berarti bagimu, kan?”

Napas Aleta tercekat di tenggorokan, tetapi ia berusaha sangat keras tetap terlihat tenang.

“Saat itu, kami sudah mengatur perceraian kalian. Tapi … Leon menentang keputusan tersebut dan mengancam kami semua.”

Bukan Sang PewarisWo Geschichten leben. Entdecke jetzt