[8]. Membujuk Gadis Manja Hadinata

Start from the beginning
                                    

Susah emang menaklukkan Mas Akbar itu! Nggak gampang dibujuk kayak Ayah.

Ia hampir selesai mengancingkan piama ketika suara pagar depan terdengar dibuka. Akbar pulang. Raya buru-buru menyelesaikan berbenah diri. Sempat bercermin sekali lagi, menyemprotkan parfum beraroma manis vanila, lalu berlari turun ke lantai bawah.

Laki-laki itu terlihat sedang mengunci pintu kembali saat Raya sampai di anak tangga paling bawah. Gadis itu tersenyum seraya menyongsongkan dua tangan, meraih jaket di lengan kiri Akbar, dan mengambil alih tas ransel di bahu kanan.

"Sini, sini, sini, aku bawain," tawarnya. "Nggak usah sungkan, aku aja yang bawa. Silakan Mas Akbar kalau mau mandi dulu."

Seperti biasa, Akbar memang susah ditebak. Wajahnya terlihat tenang tanpa sedikit pun Raya lihat aura keheranan di sana. Tak apa, Raya masih bisa bersabar dengan berlarian kecil meletakkan tas dan jaket suaminya ke ruang kerja di dekat tangga.

Sementara Akbar berlalu ke pantry, menyalakan strip light di dinding. Laki-laki itu membuka pintu lemari pendingin dan sebelum ia meraih sebotol air mineral dingin, Raya buru-buru mengambil alih sampai membukakan tutup botol.

Akbar berkacak pinggang, menatap uluran sebotol air dingin di tangan kanan Raya. Mata bulat gadis itu mengerjap. Kemudian Akbar mengembuskan napas pelan.

"Nggak mempan," bisiknya sembari membungkuk lebih dekat ke telinga Raya.

Ia mengambil alih air minum dari tangan Raya, meneguknya beberapa kali setelah duduk di atas stool bar. Akbar bangkit lagi, mendekat ke arah gadis yang mendadak merengut dengan bahu terkulai lesu. "Terima kasih atas perhatiannya, Nona," ucapnya sambil menempalkan permukaan botol ke pipi istrinya yang menggembung karena jengkel.

Raya mengaduh begitu satu acakan kasar mendarat di atas puncak kepalanya. Ia menggeram sebal seraya merapikan rambut.

"Maass! Boleh dinego nggak nih?! Aku janji habis nonton langsung pulang, deh!" Ia berteriak lantang sementara Akbar berlalu menaiki anak tangga. Meninggalkan Raya sambil melambaikan tangan tanpa berbalik sedikit pun.

***

Pukul setengah sebelas malam, laki-laki itu keluar dari kamar. Tubuh jauh lebih baik karena mandi membuatnya kembali segar. Raya belum juga kembali ke kamar dan ini kali pertama Akbar pulang larut sementara gadis itu masih terjaga.

Biasanya, entah Akbar pulang larut atau tidak, Raya selalu tertidur dahulu kemudian ia baru beranjak tidur di kamar sebelah. Pun ketika pagi, Akbar pasti menjadi penghuni rumah yang bangun paling pagi.

Gadis itu masih bertahan di pantry, menghabiskan satu cup es krim sambil duduk di tepi meja dapur. Kepalanya mendadak melengos ketika tahu Akbar menyusul.

Laki-laki itu menahan senyum geli. Tangan kanan terulur ke atas kabinet di atas kepala Raya dan tangan kiri masih sempat melindungi puncak kepala gadis itu agar bergeser dan tak terbentur pintu kabinet.

"Masih niat cari kerja?" Akbar membuka pembicaraan.

"Ck, udah, deh, nggak usah ajakin adu argumen! Ujungnya Mas Akbar yang menang pasti." Raya bersungut-sungut sembari menghapus sisa es krim di bibi dengan ujung jari.

"Ya, nggak gitu. Cuma ajak komunikasi aja biar kamu nggak salah paham." Akbar meraih dua mug dalam kabinet, mencampur bubuk cokelat dan krimer, kemudian menyeduhnya dengan air panas.

Raya turun dari tepi meja, membuang cup kosong ke keranjang sampah. Ia menunggu, memperhatikan pergerakan Akbar yang tengah mengaduk dua cokelat panas sebelum disajikan satu mug untuk Raya.

Di ruangan temaram itu, keduanya menyesap minuman hangat dalam diam, dan duduk saling berhadapan.

"Aku nungguin, lho." Suara Akbar memecah keheningan.

Secret MarriageWhere stories live. Discover now