5🍒

25 4 0
                                    

Seindah Langit yang di cintai oleh Naisa🌹

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Seindah Langit yang di cintai oleh Naisa
🌹


Kesibukan dunia sekolah kembali menyita banyak waktuku. Mulai dari tugas mapel yang setiap harinya selalu ada, seolah belajar sampai sore itu belum cukup. Ditambah ekskul yang full setiap harinya terkecuali Selasa, Jum'at, Sabtu dan Ahad. Itu pun karena yang ku ikuti hanya tiga cabang ekskul wajib saja, sisanya tidak tertarik. Terkesan buang-buang waktu, menurutku.

Bel sekolah berbunyi tepat pukul 14.00 WIB, aku menghela napas panjang ketika Pak Sastra telah benar-benar keluar dari kelas dan selesai dengan aktivitas mengajarnya. Oh iya, namanya bukan benar-benar Pak Sastra, itu sebutanku saja. Ke semua guru juga begitu, guru B. Inggris aku panggil Pak Inggris, guru matematika aku panggil Pak Matematika, guru seni budaya aku panggil Bu SenBud, dan seterusnya. Bukan apa-apa, entahlah hanya lebih nyaman saja, bagiku.

Aku merapikan alat tulis dan buku-buku, memasukkannya ke dalam tas punggungku yang berwarna putih polos, tas yang sangat aneh di mata semua manusia yang melihatnya.

"Nay, kita simpan saja ya tasnya di kelas?" Dini, teman sebangkuku menawarkan hal merepotkan seperti biasa.

"Hm .... boleh deh," sahutku mengiyakan, menaruh kembali tas yang sudah ku gendong. Aku heran, bagaimana sih cara kerja otak Dini? Jika tas bisa dibawa ke tempat ekskul, kenapa harus di simpan di kelas? Bukankah lebih hemat waktu ketika kita tinggal meraih tas yang sudah berada di dekat kita untuk pulang dengan damai dibanding kembali lagi ke kelas hanya untuk mengambil tas?! Dan kenapa juga aku mengiyakan? Ternyata aku lebih bodoh.

"Yuk," ajak Dini menggandeng tangan kananku, kami menuju ruang ganti.

Suara bariton mulai terdengar dari lapangan khusus yang luasnya hampir setara dengan lapangan upacara bahkan lebih, mengomando siswa seantero sekolah untuk mempercepat langkah dan segera berkumpul. Aku dan Dini yang masih di ruang ganti kocar-kacir hingga menaruh seragam asal-asalan, kami berdua beringsut sebelum kena hukum oleh Master.

Ekskul yang satu ini memang cukup merepotkan, Saat resmi menjadi murid SMA semuanya diwajibkan mengikuti minimal tiga ekstrakulikuler yang ada di sekolah, ekskul Pramuka dan Seni bela diri sudah dipilihkan oleh sekolah dan mau tidak mau wajib diikuti. Satu sisanya bebas memilih, bahkan "jika waktumu terlalu banyak, kamu boleh mengikuti semua ekstrakurikuler yang ada" ucap salah satu pembimbing ospek waktu itu, hei yang benar saja.

Jadi di antara ekskul seni tari, seni musik, seni teater, basket, volly, badminton, menjahit, padus, paskibra, PMR, PA, bahasa, dan komputer, kira-kira mana yang ku pilih?

Sudahlah, bahas itu nanti saja. Sekarang aku harus benar-benar fokus karena Master sudah koar-koar di tengah lapangan yang beralaskan rumput.

Ratusan murid telah siap dengan baju bela diri khas berwarna hitam, dibedakan oleh warna sabuk sesuai tingkatan. Kelas sepuluh mengenakan sabuk putih seperti yang telah ku ikatkan di perutku, kelas sebelas memakai sabuk kuning, dan kelas dua belas dengan sabuk hitamnya, bedanya hanya kelas dua belas yang bajunya berwarna putih seperti yang dikenakan oleh Master. Master menggunakan sabuk merah, di lapangan ini ada tiga Master yang mengajar sesuai bagian tingkat masing-masing.

Seandainya Aku Jadi Awan Where stories live. Discover now