11. Teh Tarik

109 40 2
                                    

Memang belum dibahas secara detail, tapi seperti Dapur Ajaib, Kafe Rahasia juga dipegang oleh beberapa orang. Tidak mungkin hanya duet Felix dan Juan. Salah satu kru dapur yang satu sif dengan Felix adalah Meuti Hikari, bertanggung jawab di bagian makanan berat macam mi dan nasi. Memang namanya agak sulit dilafalkan, jadi gadis itu bilang panggil saja ia "Mut."

Setiap bulan Desember, Meuti selalu mengambil cuti. Pulang ke kampung halaman. Tahun ini pun sama.

"Titip salam untuk keluarga, Kak Mut," Felix berujar seraya menguleni adonan sour dough dengan tangannya.

Meuti tertawa. "Keluarga yang mana?" si gadis bertanya seraya menyimpan apron biru dongker ke laci pegawai dekat pintu. "Sudah dijemput ombak semua dua dekade lalu."

Felix lupa kalau alasan Meuti merantau adalah karena ia tak lagi punya sanak saudara di Kota Serambi Suci—kampung halamannya. Setiap tahun, tujuan Meuti pulang adalah mengunjungi tempat peristirahatan terakhir keluarganya ... yang belum tentu presisi juga tempatnya, berhubung jasad mereka semua dihempas oleh tsunami entah sampai mana saat itu.

"Maaf ... aku lupa." Lelaki dengan rambut pirang ikal itu meringis.

Kontras dengan muka Felix yang dipenuhi rasa bersalah, si gadis pemilik rambut hitam bergelombang tersenyum lebar. "Santai sih, Lix. Kayak sama siapa aja."

Felix teringat ketika ia pertama kali berkenalan dengan Meuti. Anak itu tipe cewek yang ada saja lawakannya. Kata orang, kalau lucu terus, pasti ada trauma berat di baliknya.

"Aku masih nggak paham sama kamu, Kak." Felix memasukkan adonan sourdough ke dalam wadah untuk didiamkan. "Kenapa masih mau kembali, kalau sudah nggak ada siapa-siapa di sana?"

Mata hitam Meuti yang sejernih kristal mebgerjap. "Karena cuma itu yang bisa kukkenang, selain resep teh tarik keluarga ...?"

Meuti adalah orang yang suka bercerita panjang begitu terpantik. Ia meletakkan kembali tas selempang yang sudah tersampir dan duduk di kursi pinggir dapur. Kisah hidupnya mengalir: hari di mana seharusnya keluarga Meuti tengah berbahagia karena kakak Meuti baru saja sarjana. Ingin membuat acara perayaan di pinggir pantai, seperti tradisi keluarga mereka selama ini.

Lalu, ombaknya datang.

Ini bukan kali pertama Felix mendengar ceritanya. Bisa dibilang, Meuti sering keceplosan membahas tragedi tsunami nyaris tiap pekan jika ada hal yang membuatnya terpicu. Meski begitu, sesaknya masih sama. Ekspresi lelaki itu langsung hampa dibuatnya.

"Hei, jangan bengong!" Meuti menepuk pundak Felix. "Kamu kan sudah sering dengar. Kenapa masih gitu, sih, responnya?"

Ditunggal Liz dan ayahnya dengan cara yang agak "normal" saja, Felix masih kesulitan untuk benar-benar rela. Padahal mereka berdua pergi setelah sakit beberapa saat, yang artinya Felix masih punya waktu untuk mempersiapkan diri untuk menerima takdir.

Meuti tidak.

"Jangan sedih, dong. Nanti kubuatkan teh tarik khas Ibu deh. Tapi nanti ya, sekarang aku mau siap-siap mengejar pesawat." Wanita berparas manis itu tergelak. Tawanya tidak sampai ke mata, sayangnya. Sekali lihat, orang juga tahu luka duka masih menetap di sana.

Tema: bikin cerita tentang pasca tsunami.

Kurang ajar, saya nangis nih malam-malam 😭

Tea Time Stories - Daily Writing Challenge NPC 2024Where stories live. Discover now