Tikus Hitam dari Atas Lemari

Start from the beginning
                                    

Suara gelas kaca yang ditaruh di atas keramik— dari arah dapur—memecah keheningan. Ali terkesiap. Perlahan senyumnya memudar. Sekarang bunyi sendok yang ditarik dari tempatnya, juga muncul suara sendok yang beradu dengan bunyi gelas.

Tengtengteng, tengtengteng...

Seperti ada seseorang yang menyeduh sesuatu. Sebab, suara itu disusul dengan bunyi toples yang dibuka dan ditutup kembali.

Pintu kamar terbuka. "Aaa!" Ali melompat di kursinya. Siluet Harrir memegang gelas cangkir dengan tali teh celup menjuntai keluar. Ali hanya bisa melihat gelap di tubuhnya.

"Apa Li?" tanya Harrir. Ali memegang dada, amat lega karena itu bukan suara hantu, apalagi sosok mengerikan yang muncul secara kasat mata di depannya.

Harrir pun menekan tombol saklar di sebelah pintu, lalu kamar pun menyala terang. Sosok Harrir menghilang, gelas yang dipegang melayang sesaat, lalu terjatuh dan pecah berkeping-keping.

"AAAAAAAAAA!!!!" Ali berteriak sekencang mungkin dan terjatuh dari kursinya.

BRUK!

"Aduh..." Ali meringis kesakitan. Bagian tubuh sebelah kirinya terasa linu setelah terjatuh sekaligus. Jantungnya berdebar. Ia bisa merasakan pening di kepala tiba-tiba menjalar begitu dahsyat. Ali terduduk dan hendak membangunkan Jawad dan Harrir. Namun, ketika ia berdiri, ia sudah berada tepat di sebelah kasurnya.

Ali bergeming sesaat. Tidak bergerak barang sejengkal. Ia menatap sekeliling. Lampu kamar mati. Hanya lampu meja belajar yang menyala terang. Ali baru sadar ia tidak memakai kacamata. Dengan gerakan cepat dan sedikit gemetar, ia mencari kacamata di bagian atas kasurnya. Setelah dapat, ia memakainya dan melihat kasur Harrir kosong. Hanya Jawad yang mendengkur dengan posisi lengan menutupi mata—seperti yang terakhir Ali lihat.

Ali menoleh ke arah meja belajar. Tidak ada buku TOEFL yang terbuka. Ali menghampiri meja untuk memastikan. Buku tebal itu masih berdiri rapih, tersusun di antara buku novel islami milik Harrir dan buku politik milik Ali.

Perasaan tadi belajar? Ali masih mencoba mengingat-ingat apa yang baru saja ia lakukan. Tadi nyoba buka pintu, terus gak jadi, terus belajar, terus lihat Aa bawa teh, terus jatuh, terus..... bangun.

Ali mengusap wajah frustasi. Ia mengucek mata di balik kacamata, menarik bangku, dan duduk di depan meja belajar. Ia menepuk-nepuk kakinya, mencubit pipi, dan akhirnya melamun cukup lama setelah sadar sepenuhnya. Dia sedang tidak mimpi, dan ini adalah mimpi paling parah yang pernah dialaminya selama hidup. Semua itu terasa sangat nyata.

Ali mengambil buku TOEFL dan mencari coretan-coretan yang seingatnya sudah ia isi. Tidak ada coretan apa-apa. Bahkan Ali pun tidak bisa ingat pertanyaan yang ia jawab di mimpi tadi materinya tentang apa. Semua mulai janggal. Ali ingin sekali menceritakan hal yang ia alami beberapa hari terakhir. Namun, Harrir dan Jawad, dan juga dirinya sendiri, baru saja mengalami kejadian janggal beberapa jam ke belakang. Ali tidak mau menambah-nambah ketakutan di antara saudaranya.

Mungkin cerita ke Teh Mehri aja, Ali memutuskan.

Karena bosan dan bingung harus mengerjakan apa—tak mungkin juga kembali tidur—akhirnya ia pun mengambil pulpen yang tergeletak malas di sebelahnya. Ia enggan mengalami adegan seperti di film-film, dimana mimpi di dalam mimpi, atau mimpi berulang yang bisa diubah alurnya. Mau tak mau, Ali memilih untuk belajar saja sambil memasang telinga yang waspada dengan sekecil apapun suara yang bisa saja timbul di sekitarnya.

Pintu kamar terbuka. Ali tidak lagi terlonjak seperti di dalam mimpinya. Sebab ia tahu, Harrir memang sedang ada di luar kamar.

Harrir menyalakan lampu kamar. Kali ini ia tidak menghilang. Tidak juga menggenggam teh celup. Ia sedang mengelap tangan dengan selembar tisu basah.

BELASUNGKAWA IIWhere stories live. Discover now