Hampir Tertabrak

970 120 25
                                    

Suasana di dalam mobil agak sedikit berbeda. Tidak sehangat ketika para sepupu pergi menginap bersama menuju rumah nenek 3 tahun silam. Bukan karena air conditioner mobil yang dinyalakan terlalu dingin, atau senandung lagu membosankan dari playlist lagu milik Jawad. Biasanya mereka bernyanyi bersama dengan suara yang sumbang, berbagi cemilan, atau saling tukar cerita—pengalaman selama di sekolah. Sekarang mereka semua sudah lebih dewasa, seharusnya mereka saling menceritakan bagaimana dunia kampus telah mengubah sebagian besar persen kehidupan pribadi mereka. Akan tetapi, snack-snack yang tadi sudah dibeli saja masih terbungkus rapat, belum ada yang menyentuhnya. Selama perjalanan ini, mereka memilih untuk sibuk dengan urusan masing-masing; Abang Jawad menyetir, Mehri tertidur, Zahra chattingan dengan temannya, Muthi membaca buku, Ali menonton podcast politik di ponselnya, dan Harrir yang memandang jalanan dengan tatapan kosong dan luyu.

Ada hal lain yang mereka berenam rasakan sejak mobil berangkat dari bangunan Giant yang kosong itu. Abang Jawad menyetir mobilnya selama berjam-jam tanpa mengatakan kalimat-kalimat panjang ciri khasnya. Biasanya ia begitu cerewet dan mengungkapkan berbagai lelucon yang memancing tawa adik-adik sepupunya. Seperti ada sesuatu yang mengganjal dalam hatinya, entah apa itu. Apa mungkin karena ia mengkhawatirkan kondisi istrinya, Mytha, dan anaknya Abbas di rumah?

Bunyi telepon masuk memenuhi seisi speaker mobil yang terhubung dengan ponsel Jawad. Semua orang langsung teralih perhatiannya. Bahkan Mehri yang tertidur membuka mata dan mengganti posisi tubuh menjadi menghadap ke arah sopir.

“Halo, Bun?” Resmi sudah Jawad memanggil Mytha dengan sebutan bunda.

Udah sampai mana?” tanya Mytha dari ujung sana.

“Sebentar lagi sampai. Lagi di daerah ***** . Belok-belok nih jalannya.”

Pas di gerbang tol tadi gak macet?”

“Gak.”

….
….

Kok kaya lesu gitu? Kalau cape minta Harrir buat nyetir,” ujar Mytha, ada nada kekhawatiran dari suaranya. Harrir yang mendengar namanya disebut langsung menegakkan tubuh, bersiap apabila ia harus bergantian menyetir mobil.

“Enggak, kok. Bukan karena itu,” jawab Jawad pelan.

Kenapa? Gara-gara telepon Pak Aki kemarin? Udah, gak usah terlalu dipikirin nanti juga—” suara Mytha di telepon terputus. Meninggalkan suara kresek-kresek aneh, seperti susah sinyal atau semacamnya.

“Halo, bun? Bun?” panggil Jawad sambil mengambil ponselnya. Nihil, suara itu malah semakin keras dan memekakkan telinga. Zahra melirik kakak sepupunya yang sibuk mengotak-atik layar ponselnya dengan cepat sambil melirik waspada ke jalanan di depan mereka.

JAWAD
Bun, jangan dulu omongin soal Pak Aki.
Tadi obrolan kita kedengeran satu mobil.


MYTHA
Oh, sorry. Gak tahu. Lagi denger lagu, ya?

JAWAD
Iya.
Jangan sampai kita keceplosan.


Mytha
Iya, iya.
Pokoknya hati-hati, Yang.
Simpen dulu hpnya.
Nanti lanjut ngobrol lagi aja kalau udah gak di jalan.

“ABANG AWAS!!!” Harrir berteriak dari belakang. Jawad membelalakkan mata dan spontan membanting stir ke arah kiri jalan. Sisi kepala Mehri sedikit terantuk ke kaca jendela, membuatnya terbangun sambil mengaduh.

Ada seorang lelaki berusia akhir 40-an yang tadi sedang menyeberang dan hampir tertabrak. Beruntung di sana tidak ada kendaraan lain, warung, atau orang yang sedang berjalan kaki. Roda mobil menggelinding menggilas rumput-rumput kering di sisi jalan. Setelah itu Jawad mengerem mobil dan menggenggam stir seraya mengatur nafasnya dengan berat.

BELASUNGKAWA IIWhere stories live. Discover now