Dormhouse

713 98 21
                                    

Pernahkah melihat sebuah bangunan besar berarsitektur kuno zaman kolonial, masih berdiri gagah di tengah kota besar, dan membuat orang yang melewatinya berpikir, ‘ada tragedi mengerikan apa yang terjadi di balik gedung ini pada masa lampau?’.

Beberapa orang mungkin mengalihkan pandangan untuk tidak berlama-lama menatap ke arah gedung itu, karena takut-takut ada yang balas menatap di balik jendela tinggi besarnya. Polesan cat berwarna putih di dinding bangunannya juga mulai memudar, memberikan kesan seperti jenazah manusia yang sudah sangat pucat akibat tak kunjung dimakamkan. Jika saja ini bukan bangunan yang menyimpan banyak kenangan dan sejarah misterius, pasti pemerintah Solo pun akan menghancurkannya sejak dulu, dan menjadikannya bangunan dengan model yang baru. Bangunan Belanda dengan hawa dingin, atap tinggi yang menjadi saksi bisu atas pembantaian Nippon, dan untuk beberapa alasan, pintu kokohnya seakan mengintimidasi.

Bangunan yang dideskripsikan tersebut bukanlah gedung terbengkalai dengan lumut di segala penjuru tiangnya. Bukan juga gedung kosong yang berdebu lantai dan kacanya. Bukan gedung yang dilewati mobil Jawad ketika mereka berada di jalan raya. Melainkan, gedung mengerikan ini adalah bangunan utama dari sebuah lembaga pendidikan bahasa paling terkenal di Kota Solo. Dimana akan menjadi tempat persinggahan rutin para sepupu selama 13 hari ke depan.

“Ini serius kita belajarnya bakal di sini?” bisik Muthi pada Mehri yang sama-sama tertegun memandang lampu gantung besar di atas mereka.

“Gak ada gedung lain soalnya. Area buat belajar ya cuman gedung ini,” jawab Mehri seraya menunjuk ke arah koridor gelap di sisi kanan mereka. “Kelas-kelasnya ada di sana.”

Muthi mengernyitkan wajah pada sepupunya, karena sekarang sayup-sayup pendengarannya bisa mendengar suara anak-anak yang berbicara dengan bahasa asing dari wilayah itu.

Aula yang sedang mereka kunjungi sekarang begitu megah dengan atap tinggi dan tak tergapai oleh lima puluh tangga lipat sekalipun. Bentuk aulanya melingkar, dengan menyediakan pojok baca, mading besar, sofa-sofa, beberapa foto hitam putih yang mendeskripsikan sejarah gedung itu, dan poster-poster kutipan menarik dalam bahasa Inggris.

“Bener tebakan aku,” ucap Mehri setelah mereka berjalan menghampiri salah satu foto hitam putih, menunjukkan sekelompok anak-anak berseragam bersama guru perempuan berambut pirang. Mereka berfoto persis di bagian depan gedung tersebut pada tahun 1930. “Gedung ini bekas sekolah orang-orang Londo.”

Harrir dan Zahra sedang sibuk membicarakan harga lukisan seorang gadis Jawa berkonde dan berkebaya hitam di tengah dinding aula. Mereka menghabiskan beberapa menit untuk membicarakan ukiran pigura yang terlihat mulai usang tapi masih tampak mewah. Lukisan yang memang menarik perhatian Zahra untuk pertama kali masuk ke dalam gedung itu. Dia juga penasaran apakah Harrir melihat ada sosok gadis cantik itu di bawah lukisannya. Seperti... sosok yang menyerupai atau arwah gadis itu memang ada di sekitar lukisannya sendiri.

"Gak tahu,” jawaban Harrir membuat Zahra kecewa. Harrir bukannya seratus persen tidak tahu. Sejak pertama kali masuk, Harrir mengira memang ada karyawan English Academy yang sedang memakai baju adat Jawa dan diam berdiri menyambut calon murid baru di dekat meja resepsionis. Mereka sempat saling tatap dan tersenyum. Harrir sempat merasakan perutnya melilit aneh dan tergelitik. Belum sempat menikmati kegeerannya karena diberi senyum manis oleh gadis cantik, Harrir menangkap pemandangan lukisan besar di dinding aula dan mendapati wanita tadi sudah menghilang.

Giliran disenyumin cewek, eh tahunya malah jurig, gerutunya dalam hati. Gak apa-apa, deh. Yang penting bukan jurig cowok.

Ali tidak mengamati kengerian apapun dari gedung tersebut, sebab ia fokus membaca informasi di majalah dinding. Kedua tangannya terlipat, dahinya berkerut. Matanya menatap tajam setiap tulisan tentang wisata-wisata menarik di Kota Solo, sampai membaca mengenai latar belakang English Academy itu sendiri.

BELASUNGKAWA IIWhere stories live. Discover now