Hujan Badai

537 90 9
                                    

Mendadak hujan turun begitu lebat. Tetesannya menabrak-nabrak tanah dengan membabi buta. Harrir berlari terbirit-birit menuju sebuah warung kosong di tengah jalan lengang dengan jajaran pohon di kanan kirinya. Jawad mengekor di belakang, berjalan cepat. Sedangkan Ali, menikmati tetesan air ke atas kepalanya.

"HuJaAaAaaaAN!" teriak Harrir heboh, sembari menutupi kepala dengan lengan. "AaaAAaAa!" Harrir histeris ketika nyala kilat berkedip. Suara petir menggelegar kencang. "ALLAHU AKBAR!" Ia paling takut dengan serangan hujan seperti itu. 

Ketika Harrir melompat ke atas tangga warung, ia langsung terdiam mematung. Tidak lagi berseru-seru ketakutan.

Di sana, kurang lebih ada 10 orang sedang memandangnya. 3 di antaranya adalah Zahra, Muthi, dan Mehri.

"Meni gandeng (berisik amat)," komen Muthi. Harrir ikut meringsak masuk, menyelinap di antara Muthi dan Zahra, lalu diam dengan canggung. Harrir bisa saja tidak malu dengan kehebohannya tadi. Namun, mereka semua tidak ada yang tertawa. Karenanya, pipi Harrir sekarang bersemu merah.

"Se-gandeng itu ya?" tanya Harrir, menyesali harus berteriak nyaring seperti itu.

"Pake nanya," balas Muthi. Ali dan Jawad pun datang. Sebagian baju atasnya sudah basah kuyup. Mereka berdua pun memandang Harrir dengan tatapan yang mengisyaratkan, 'Gila! Malu gak lu banyak orang gini?'.

Beberapa murid yang masih belum sampai ke dormhouse berdiri berdempetan disebuah warung kosong. Warung yang berbentuk gubuk dengan penutup etalase berwarna merah tua menjadi tempat berteduh sementara bagi para sepupu. Ada beberapa orang lainnya yang baru mereka lihat, rata-rata seusia Abang Jawad, sebagian berwajah keturunan darah Tionghoa.

Muthi, Zahra dan Mehri memeluk lengan masing-masing. Hujan ini bukan hujan biasa. Awan begitu mendung sampai kegelapan menyergap di atas langit. Itu belum memasuki waktu Maghrib, tapi sudah seperti jam 7 malam lewat. Angin juga bertiup dengan kencang. Beberapa tetes hujan menciprati teras warung. Orang-orang berdiri semakin merapat, takut kena tetesan air yang menyerang tak santai. Sisanya, mereka semua sibuk dengan pikiran masing-masing. Kecuali Harrir dan Jawad, yang tahu-tahu sudah kenal dengan mereka semua.

"Apa?" Mehri menoleh pada Muthi.

"Apa?" Muthi bertanya balik.

"Tadi ngomong apa?"

Muthi menggeleng. "Aku gak ngomong apa-apa, Teh."

"Oh, salah denger." Mehri berujar. Ia pun menatap pepohonan di seberang warung yang bergoyang-goyang mengerikan tertiup angin.

"Hah?" Harrir mendekatkan telinganya kepada Muthi.

"Hah apa?" sahut Muthi.

"Itu tadi manggil?" Harrir memastikan.

"Kagak," jawab Muthi. Harrir ber-ooh dan kembali mengobrol dengan teman barunya.  Muthi mengerutkan dahi, mengamati tetesan hujan yang menabrak tangga warung. Aku gak manggil siapa-siapa. Aneh banget, Muthi membatin sendiri. Kemudian ia menggeleng dan menepis pikiran-pikiran horror yang mengetuk kepalanya.

"Mut," panggil Ali.

"Apa?" Muthi mendongak pada Ali yang sedang membersihkan kacamata dengan bajunya.

"Apaan?" tanya Ali, ikut mendongak. Ali mengangkat alis, menunggu Muthi yang terpaku.

"Eng.. enggak jadi." Muthi menggeleng cepat.

"Abang Ali manggil Mut 'kan?" bisik Zahra. Ia menggenggam lengan Muthi.

"Kamu denger juga?"

Zahra mengangguk. Matanya mulai was-was. "Dari tadi Ara merhatiin Abang Ali yang lagi gak di kacamata sambil mikir kok cakep banget ya sepupu gw—terus suara Abang Ali kedengeran manggil De Muthi," jelas Zahra. Meskipun Muthi lebih tua dari Muthi, tapi panggilan tetap seperti itu—sebab Zahra adalah anak dari kakak ibunya Muthi (Uwa). Zahra pun melanjutkan, "Tapi sayangnya mulut Abang Ali mingkem."

BELASUNGKAWA IIWhere stories live. Discover now