03. Tentang Perempuan dan Kemuliaannya

Start from the beginning
                                    

"Namanya keren, kayak orangnya," lirih Zira.

"Ya, gimana, Zira?" tanya Bian sengaja. Walaupun pelam, laki-laki itu bisa mendengar perkataan Zira.

"Eh nggak gimana-gimana," Zira malu-malu.

Bian geleng-geleng kepala, gemas dengan tingkah gadis di hadapannya itu.

"Oh iya, saya diminta oleh Komandan Lanud untuk datang ke rumah kepala desa. Bisa beri kami petunjuk di mana rumah beliau?"

"Rumah kepala desa dari sini lurus, terus ada pertigaan belok kiri sedikit, ya di sana rumah Pak Kades," jawab Zira.

Ghazi mengangguk. "Baik, terima kasih. Kalau begitu saya dan Bian pamit. Assalamualaikum."

"Waalaikumussalam."

Setelah berpamitan, dua laki-laki itupun beranjak untuk pergi ke rumah kepala desa. Sepanjang perjalanan menuju ke rumah beliau, Bian terus mengomel karena Ghazi hanya meminta petunjuk arah, bukan meminta diantar oleh dua gadis tadi.

"Bang, harusnya jangan minta petunjuk arah. Sekalian minta antar Bu Guru Zira dan Bu Guru Zana. Kalau gini takut tersesat nanti kita, Bang."

Ghazi geleng-geleng kepala. "Itu cuma alasanmu. Bilang aja pengen sama-sama Zira."

Bian terkekeh. "Emang Abang nggak pengen jalan sama Bu Guru Zana?"

"Ya pengen, tapi nggak sekarang. Tunggu saya halalin dulu, jangankan jalan bareng, saya gandeng sekalian nanti di sepanjang jalan. Bahkan nggak hanya itu, saya akan gandeng dia sampai ke surga-Nya, insyaallah," jawab Ghazi.

"Sabar dulu Bian, yang haram memang kelihatan nikmat, tapi dibalik itu ada dosa yang tak terlihat. Sedangkan yang halal, walaupun harus bersabar dulu, bahkan harus berusaha melawan hawa nafsu, tapi nanti balasannya nikmat sekaligus pahala."

Bian geleng-geleng kepala saking terkesimanya mendengar penuturan abang seniornya itu. "Masyaallah, Bang," ujarnya.

"Biasa aja, saya nggak sebaik dan sesempurna itu kok. Saya juga pernah pacaran," Ghazi memberikan sebuah pengakuan yang membuat Bian kaget.

"Serius Abang pernah pacaran?" Bian melotot tak percaya.

Ghazi mengangguk, "Pernah," jawabnya. "Tapi saya sangat menyesalinya. Bahkan kalau ditanya apa penyesalan terbesar yang pernah saya lakukan terhadap perempuan, itu pacaran. Setelahnya saya merasa diri saya adalah laki-laki jahat," sambungnya.

"Oh berarti waktu pacaran Abang ngelakuin KDHP?" tanya Bian.

"KDHP?" Ghazi mengerutkan keningnya bingung. Istilah singkatan itu sangat asing baginya.

"Kekerasan dalam hubungan pacaran, Bang," jawabnya.

"Astaghfirullah, Bian. Saya tidak pernah melakukan kekerasan," Ghazi menggeleng cepat.

"Terus kenapa menyesal, Bang?"

"Setelah beberapa waktu menjalani hubungan pacaran, saya mulai sadar, bahwa ternyata saya sudah merendahkan kemuliaan perempuan, dengan mengajaknya bermaksiat. Perempuan diciptakan mulia dan seharusnya hidupnya juga dimuliakan, bukan direndahkan," jawab Ghazi.

"Beribu-ribu tahun yang lalu, ada seorang laki-laki yang berjuang mati-matian demi mengangkat derajat perempuan. Beliau adalah Rasulullah Muhammad. Perempuan yang dulunya dianggap rendah, pembawa sial, sampai dijadikan budak nafsu, perlahan mulai memiliki kedudukan mulia. Perjuangan beliau tentu tak mudah, sampai bukan lagi keringat yang keluar, melainkan darah. Lantas apakah pantas laki-laki penuh dosa seperti saya ini justru menyia-nyiakan perjuangan beliau dengan menjadi bagian dari laki-laki yang tidak bisa menghargai bahkan merendahkan perempuan?"

Lentera HatiWhere stories live. Discover now