Takut Nikah

2 0 0
                                    


Haruskah aku menyampaikan ketakutan ini lagi? Bukankah dia akan kembali menjawab semua akan baik-baik saja karena ini hanya ketakutan dalam diriku sendiri.

***

Aku tidak tahu bahwa chapter hidupku sudah sampai pada tahap ini.ِ Aku bahkan lupa bagaimana Nadila kecil membayangkan pernikahan. Bagaimana ia melihat sosok pasangan. Walaupun jujur, ia tidak akan pernah lupa bagaimana ia pernah menyukai seseorang begitu gila. Dan saat ini, dengan bangga aku menertawakannya:)

Saat awal menjalin hubungan di usia 20-an, bukankah secara sadar dan normal, kita berikrar siap melangkah ke tahap yang lebih serius, yang banyak orang impikan tapi bersamaan juga takut. Apalagi kalau bukan menikah.

Setahun ke belakang, dengan sadar atau tidak, aku merasa telah masuk ke dalam kumparan perasaan paling galau sedunia: Apakah dia jodohku? Apakah aku akan menjalani sisa hidupku dengannya? Mengabdikan diri yang telah melanglang buana ini di dekapan laki-laki yang bahkan tidak pernah terbayang dalam kata dan tulisannya? Apakah sungguh aku harus mengambil langkah ini? Mengapa aku harus menikah?

Hahahahahah. Begitulah gambaran perasaanku. Aku bermain dengan hati dan semua terasa begitu cepat. Dan kini aku menertawakan kemana takdir menuntunku. Aku pernah begitu ingin lebih dekat dengannya dalam ikatan pernikahan. Tapi entah aku tidak dapat berbohong aku takut.

Ternyata lawan dari keseriusan adalah keraguan. Masalahnya, perasaan takut dan bimbang ini tidak dapat megulur waktu. Jika kau lihat betapa dia yakin dan berjuang, mana mungkin hati tidak luluh. Namun, ketika kutengok lagi hatiku, sungguh aku takut.

Wajarkah?

Apakah harus secepat itu? Aku berharap 24 tahun ini akan kunikmati dengan menulis dan meraih lebih banyak mimpi. Aku belum siap berbagi priorotasku dengan makhluk dewasa yang kusebut suami dan makhluk mungil nantinya yang kusebut baby

Namun, lagi-lagi, bukankah ini egois? Seperti halnya kisah di film komposer yang pernah kulihat, walaupun mimpi tergapai meraih ketenaran, dia kehilangan orang yang benar-benar mengasihinya. Dan saat dia ingin kembali, semua telah terlambat. Aku tidak ingin sendiri, tapi membayangkan sebentar lagi akan ada yang kusebut pasangan, itu juga menakutkan.

Haruskah aku menyampaikan ketakutan ini lagi? Bukankah dia akan kembali menjawab semua akan baik-baik saja karena ini hanya ketakutan dalam diriku sendiri<_>

dearangkaiOpowieści tętniące życiem. Odkryj je teraz