"Cara memeganggnya salah, gimana bisa keluar nada?" Suara galak itu membuatku tersentak. Tapi belum sempat aku membalik badan untuk melihat ke sumber suara. Tangannya sudah mengunci tanganku dari belakang. Jantungku berdegup kencang seperti siap melompat dari rongganya.

"Tangan kirinya di sini, tangan kanannya di sini. Ya, begitu. Lalu digoyangkan begini, lalu begini. Nah, ada nadanya kan?" Dia berbicara tepat di telingaku, hingga aku tak hanya bisa mendengar suaranya tapi juga bisa merasakan embusan napasnya di daun telingaku.

Meski tangannya sudah tidak menyentuh tanganku lagi, rasa hangatnya seolah masih tersisa dan mengalir lewat pembuluh-pembuluh darahku.

"Apa kamu bisa memainkan semua alat musik di sini?" Setelah mengatur napas agar terlihat biasa saja aku memberanikan diri menatap dan bicara dengannya agar tidak terlihat gugup.

"Yang benar saja? Mana mungkin bisa memainkan semuanya? Aku hanya bisa piano, gitar dan drum. Kalau angklung hanya sedikit-sedikit." Dia berjalan menjauh dariku. "Maaf telat, tadi aku ada urusan di luar."

"Urusan apa? Telatnya sampai hampir satu jam." Untuk ke berapakalinya dia seolah tidak mendengar pertanyaanku. Aku hanya bisa mengembuskan napas menahan kesal.

Rama mengambil sebuah buku dari rak di pojok ruangan. "Buku ini bisa kamu pelajari, aku sengaja cari yang cara penyampaiannya mudah dimengerti." Dia memberikan bukunya padaku.

"Buku? Kenapa nggak langsung kamu aja yang kasih tahu aku, kenapa malah baca buku? Kalau gini sih, aku bisa beli aja bukunya terus baca di rumah."

"Ya kan, aku sudah bilang kamu memang nggak perlu guru musik."

Lagi-lagi aku cuma bisa mengembuskan napas, "Oke, oke, nanti saya baca, Pak Guru!"

"Di sana ada trik-trik yang berguna khususnya buat penyanyi. Seperti teknik mengolah pernapasan, trik menghapal nada, lalu...."

"Jadi sekarang jadwalnya hanya memberikanku buku ini saja?" Aku memotongkata-katanya. "Aku sudah menunggu sejam lebih. Setelah aku membolak-balik isi halamannya sekilas. Bukunya memang sepertinya berbobot, tapi aku kurang suka membaca buku pelajaran semacam ini. Kan lebih asyik kalau langsung ada yang mengajari."

"Oke. Sini kamu!" Dia menunjuk ke arah piano klasik di belakang kami. Dia duduk di kursinya, dan aku berdiri di sebelah kirinya. Jarinya tampak kokoh saat menempel di atas tuts piano. "Dengarkan melodinya, aku akan sengaja membuat beberapa nada yang salah, dan tebak di mana itu. Ini lagumu, jadi harusnya kamu hapal."

"Siap!" Aku mendekat ke sisi piano. Nada per nada mulai dimainkan. Ya, benar ini lagu terbaruku yang berjudul Rindu. Rama tahu nadanya? Apa dia suka mendengarkannya? Tanpa sadar mulutku mulai bernyanyi-nyanyi kecil. Rama terus membiarkan melodi dari tuts pianonya menari bersama jari-jarinya.

"Oke. Tebak!"

"Tebak? Apanya?"

"Lho, tadi aku suruh kamu tebak di mana nada yang salah."

"Ah, aku...." Sepertinya aku tidak memerhatikan jari-jarinya di atas tuts piano apalagi memerhatikan nada yang keluar dari sana. Aku terlalu asyik menikmati permainan pianonya sambil memandangi wajahnya.

Rama menepuk keningnya sendiri dengan gemas, "Kalau nada piano yang salah saja kamu tidak tahu, gimana mau menyanyi dengan bagus. Tadi kamu ngapain aja?"

"Aku? Aku lagi membayangkan ekspresi kamu saat memainkan lagu untukku yang diunggah di youtube itu. Hehe.... Seandainya gambarnya diambil dari depan pasti kamu terlihat lebih keren. Kenapa sih videonya harus diambil dari belakang? Sok misterius! Aku kan cuma bisa melihat punggungmu aja. Aku selalu penasaran bagaimana ekspersimu waktu memainkan lagu itu."

"Shinta!!!"

"Iya?" Aku nyengir, dia menggeleng-geleng kepalanya sambil menatap kesal ke arahku.

"Ayo mainkan satu lagu lagi, kali ini aku pasti bisa menebak di mana nada yang salahnya. Serius!"

Sungguh, aku sangat menyukai laki-laki di sebelahku ini. Bukan hanya karena dia cinta masa kecilku. Entah apa yang membuatku semakin hari semakin ingin memilikinya dan tidak ingin orang lain yang memilikinya. Aku tidak mengerti dengan kata-kata bahwa "cinta tak mesti bersama". Bagaimana mungkin seseorang yang mencintai rela untuk berjauhan dengan orang yang dicintai apalagi membiarkan orang tersebut dimiliki orang lain, tanpa melakukan apa pun? 

Ya,sejenak tadi aku sempat ragu untuk berhenti memperjuangkan cinta ini. Jika nama Falia, nama gadis misterius yang meneleponnya waktu itu terlintas, aku selalu merasa takut dan cemas. Tapi, aku pun tidak ingin begitu saja melepaskan Rama, setelah menunggunya 12 tahun. Jika pun harus berhenti mungkin itu hanya jika dia benar-benar sudah menikahi gadis lain!


-Bersambung -

Apakah Kita Bisa Bertemu (Lagi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang