35

77 16 35
                                    

Jimin.

Tiga hari di rumah ini, dan tidak ada kabar dari sajangnim tentang apa yang terjadi selanjutnya.

Sebenarnya aku tidak mengeluh. Sulit bagi seorang pria untuk merasa kesal karena Yeorin dikurung di rumah bersamanya. Terutama dengan keberadaannya ke rumahku, tidur di tempat tidurku setiap malam. Menelanjanginya dan mengubur penisku di dalam dirinya berulang kali.

Aku sudah menyerah untuk mencoba menarik garis sialan itu.

Itu hanya lelucon. Aku tidak dapat memandangi Yeorin dan tidak berpikir untuk membawanya ke sebuah ruangan dan merentangkan kaki yang menuju ke surga.

Semua niat baikku telah gagal. Aku tidak akan mengakhiri hubungan seks itu. Sebenarnya, ketika sajangnim mengatakan sudah aman baginya untuk kembali ke rumah, aku tidak akan memberitahunya. Tidak sampai aku ingin dia pergi. Aku tidak mendambakan dia seperti pria gila.

Aku tetap berada di luar ruang makan, tempat Yeorin membantu Jihan mengerjakan tugas sekolahnya. Aku telah menangani ketidakhadirannya bersama kepala sekolah, dan guru telah mengirimkan semua tugas yang Jihan lewatkan ke rumah. Nama keluarga Lee berkuasa di mana-mana. Aku menggunakan itu bila diperlukan.

Setiap kali aku mendengar tawa mereka terdengar di lorong, dadaku terasa hangat dan kesemutan.

Sial, itu harus berhenti dilakukan. Penisku bisa mencintai Yeorin. Namun, hatiku harus mundur. Itu bukan perjalanan yang mampu ku tempuh.

"Hei, Ayah," kata Jihan sambil berjalan ke ruang tamu.

“Kau sudah selesai dengan pekerjaanmu hari ini?” Aku bertanya padanya saat dia datang untuk duduk di sampingku di sofa.

"Ya! Bibi Yeorin membantuku memahami matematikaku. Dia mengajariku sebuah lagu untuk membantuku menghafal langkah-langkahku," jelasnya.

"Bagus sekali. Kau ingin menonton sesuatu?" Aku menyerahkan remote padanya. "Atau apakah kau dan bibimu punya proyek melukis atau membuat kue selanjutnya?"

Dia menghela nafas dan bersandar ke belakang, menarik kakinya ke bawah. "Bibi Yeorin sedang mandi dan mencuci rambut. Ini akan memakan waktu cukup lama."

Aku melambaikan remote padanya.

Dia menyeringai dan mengambilnya dariku.

“Ayah, bolehkah aku menanyakan sesuatu?”

“Tentu,” jawab ku.

Sudah lama sekali sejak kami tidak mengobrol baik-baik. Dulu kami sering melakukannya. Aku rindu percakapan kami.

“Apakah Ayah pernah menyukai bibi Yeorin?”

Aku membeku. Bukan itu yang kuharapkan.

“Aku tahu kalian pernah berkencan. Bibi Yeorin tidak membicarakannya, tapi… Eomma yang membicarakannya. Dia mengatakan banyak hal kepada bibi Yeorin, begitu pula Nenek. Mereka akan mengatakan hal-hal yang membuat bibi Yeorin sedih, dan terkadang itu membuatku marah pada Ayah. Mereka bilang Ayah memanfaatkannya. Bahwa bibi Yeorin tidak cukup baik untuk Ayah. Mereka jahat padanya.”

Sial.

Sudah berapa lama dia menahan ini?

Aku mencoba untuk tidak membiarkan kata-katanya mempengaruhiku, tapi, sial, aku ingin tahu apa yang dikatakan Nenek dan Ibunya kepada bibinya.

“Ya, aku memang pernah menyukai Bibimu,” aku mengakui.

Jihan tampak serius saat memprosesnya. "Lalu, mengapa Eomma dan Nenek mengatakan bahwa bibi Yeorin menyedihkan karena mencintai ayah? Dan Ayah memanfaatkan dia untuk menemui Eomma? Bahwa Eomma-lah yang Ayah cintai?"

AshesWhere stories live. Discover now