12

90 15 92
                                    

Jimin.

Aku perlu bercinta.

Sudah terlalu lama. Mimpi itu tidak berarti apa-apa — selain aku sangat ingin memasukkan penisku ke dalam vagina yang rela. Seseorang yang tidak mengharapkan apa pun dariku. Siapapun yang akan pergi setelahnya. Seseorang yang mudah.

Bel pintu berbunyi, diikuti oleh Holly yang menggonggong pada suara itu, mengganggu pertarungan internalku. Yang di mana alam bawah sadarku ingin mengacaukanku saat aku tertidur. Seolah aku membutuhkan bantuan lagi di area itu. Terganggu oleh siapa pun yang ada di sana, yang berdiri di balik pintuku, aku meninggalkan kopiku yang masih diseduh di dapur untuk melihat siapa yang ada di sini yang menggangguku.

Jihan cemberut selama dua hari, dan sepertinya tidak ada yang bisa kulakukan untuk mengeluarkannya dari situ. Dia marah padaku karena tidak meminta Yeorin untuk tinggal bersamanya selama dua malam berikutnya.

Aku telah membayar sejumlah uang yang sangat besar untuk membawanya ke Disney World pada Halloween, dan setidaknya dua puluh kali malam itu, dia menyebutkan betapa Yeorin sangat menyukainya.

Menguntit ke pintu, marah karena Yeorin menyebabkan masalah dengan hubunganku dengan putriku dan sekarang dia juga mengganggu tidurku, aku berharap siapa pun yang memutuskan untuk menggangguku punya alasan bagus.

Holly mengibaskan ekornya dengan gembira sambil menatap pintu. Dia menggonggong ke arahku, seolah menyuruhku untuk membuka benda sialan itu. Anjing yang tidak sabar dan bahagia itu. Aku meraih pegangan pintu dan membukanya, tidak melihat siapa yang datang dan langsung membukanya.

Mata birunya yang melotot ke arahku dengan senyum cerah palsu di wajahnya yang menakjubkan membuat amarahku tersandung pada garis tipis yang telah diseimbangkannya. Holly mendorong melewatiku untuk menemui tamu tak diundang kami seolah dia adalah sepotong daging asap yang berjalan.

"Apa yang kau lakukan di sini?" Aku mendidih, berharap mimpi yang kualami tadi malam tentang menidurinya seperti pria gila di kamar mandi tidak terulang kembali di kepalaku.

Sialan dia karena selalu menjadi mimpi basah berjalan. Menghancurkan laki-laki kemana pun dia pergi. Mengganggu kepala mereka. Menghancurkan hidup mereka.

Dia tidak menolak ancaman dalam suaraku. Sebaliknya, senyumnya melebar, seolah ini adalah sapaan antar sahabat. Dia berjongkok dan memeluk Holly, membisikkan betapa manisnya dia dan betapa dia merindukannya. Lalu, dia berdiri dan melewatiku, berjalan ke rumahku dengan tas ransel di tangannya.

"Aku di sini untuk tinggal bersama Jihan saat kau pergi. Kau bisa menelepon Song ahjumma dan memberitahunya bahwa kau tidak lagi membutuhkan bantuannya," Yeorin mengumumkan, seolah dia berhak masuk ke rumah ku, tanpa diundang, dan beritahu ku siapa yang akan menjaga anak-ku.

"Aku tidak memintamu karena aku tidak ingin kau ada di sini," jawabku.

Geraman dalam nada bicaraku tidak perlu, tapi aku sangat kesal.

Tas Yeorin terjatuh dengan bunyi gedebuk ke lantai, dan kemudian tangan mungilnya menyentuh pinggul yang melebar di bawah pinggang mungilnya.

Ya Tuhan, apakah dia tidak memakai bra?

Aku mengalihkan pandanganku dari payudaranya dan menatap tatapan tajamnya. Dia muncul sama marahnya denganku.

Siapa yang peduli?

Ini rumah-ku. Jihan adalah anak-ku.

“Keponakanku mengirimiku pesan, karena dia kesal. Dia merindukanku. Jadi aku ada di sini,” katanya tanpa basa-basi.

Tentu saja dia melakukannya. Seharusnya aku berasumsi Jihan telah memberi tahu Yeorin tentang hal ini. Sepertinya Jihan menceritakan segalanya kepada Yeorin. Dia jarang berbicara denganku akhir-akhir ini, dan sejak dia mengetahui Song ahjumma akan datang untuk tinggal bersamanya, dia terdiam.

AshesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang