11

254 37 5
                                    


Jakarta, 2004

"Formulirnya diisi dulu, ya, adik-adik." Seorang senior di sekolah kami sedang memberikan arahan untuk kami siswa-siswi yang baru saja terpilih sebagai perwakilan dari kelas untuk menjadi salah satu anggota OSIS.

Aku terpaksa untuk bisa duduk di salah satu kursi ruang rapat OSIS sekolah ini karena harus menggantikan kandidat yang sudah diusulkan oleh guru wali kelas. Dikarena anak tersebut berhalangan hadir untuk satu minggu ke depan sebab harus ikut dengan salah satu orang tuanya pergi dinas ke luar negeri. Aku tidak mau tahu bagaimana dia bisa mendapat izin satu minggu penuh bahkan untuk bisa meninggalkan tanggung jawabnya ini sampai harus aku yang hadir sebagai alternate-nya. Aku agak benci menjadi alternate.

Hanya karena pertimbangan yang sangat cukup masuk akal untuk aku tidak memiliki alasan menolak ketika tawaran sebagai pengganti itu datang, akhirnya aku bisa ada di sini sekarang. Berkumpul dengan beberapa anak-anak super aktif, memiliki passion tinggi dan terasa aura ambisinya.

Aku datang bersama Andrew sang ketua kelas di kelasku seselesainya jam kelas kami tadi. Aku bahkan memilih kursi paling belakang bersama seorang anak perempuan berkacamata tebal yang sibuk mengisi formulir, sementara Andrew duduk di kursi barisan kedua setelah bertemu salah seorang temannya.

Mataku menatap lembaran formulir dengan malas karena terlalu banyak data yang harus diisi. Identitas diri semua siswa seharusnya sudah bisa diambil dari sistem sekolah dan diinput bukan secara manual seperti ini. Bukankah pengurus OSIS punya kewenangan untuk bisa mengakses mudah perihal sekolah untuk keperluan organisasi sekolah?

"Boleh pinjam—, nggak?"

Suara itu datang setelah bunyi ketukan ujung pensil di atas mejaku. Mataku melirik ke arah kursi di seberang kanan dan mendapati lelaki berkaca mata tebal sedang menatapku dengan tanya.

Tanganku segera mengoper sebuah kamus elektronik milikku ke atas mejanya sebagai jawaban. Anak lelaki itu menatapku dengan geli setelah mendapati kamus elektronik itu.

"Gue pinjam penghapus," cetusnya lebih terdengar jelas sekarang. Nada bicaranya lucu dan terkesan terhibur. Bahkan wajahnya tak bisa menahan ekspresi geli sembari menunjuk telunjuknya ke arah kotak pensil milikku yang terbuka dan memang ada sebuah penghapus abu-abu di sana.

"Oh, sorry. Gue dengarnya kamus," kataku membela diri. Sial sekali telingaku bahkan tidak bisa fokus.

"Nggak apa-apa. Ada nggak penghapus?"

Jelas ada. Dengan gerakan cepat tanganku membuka mengambil sebuah penghapus untuk aku berikan kepadanya.

Anak itu menggerakan tangannya dengan hati-hati untuk menghapus coretan yang salah di atas formulir yang sudah terisi setengah olehnya.

"Lo kok bengong aja, sih? Itu disuruh isi kertas lo," ucapnya masih sembari menghapus di atas kertasnya dengan hati-hati.

"Penting banget, ya, kayak gini?" jawabku malas-malasan.

Meskipun begitu, aku mulai mengambil bolpoin untuk membuat coretan huruf-huruf di atas kertas yang sejak tadi hanya kupandangi saja.

"Buat data diri lo di organisasi ini, that's exactly important, sih."

"Gue nggak kepingin ikutan beginian," pisuhku sembari memulai mengisi kolom-kolom yang kosong.

Tak lama penghapusku sudah kembali di dekat ujung kotak pensil setelah sebuah tangan meletakkannya dengan hati-hati.

"Terus ngapain lo ada di sini?"

Mataku melirik sekilas kepada lelaki itu dan hanya mendapatinya yang sedang menoleh ke arahku dengan tatapan menanti jawabanku.

FairwayWhere stories live. Discover now