5

260 51 2
                                    


"I should have known which way this wheel was turning," gumamku dengan suara super rendah ketika mobil sedan abu ini memasuki pintu pagar besar yang dibukakan oleh dua orang penjaga dengan seragam lengkap mereka.

Papi menekan klakson dan mendapat balasan sebuah tundukan kepala ramah dari dua penjaga laki-laki berseragam biu tua di luar sana.

"Pulang ke rumah itu tidak boleh menggerutu, Zen." Papi menghentikan mesin mobil tak sampai masuk ke area parkir di mana seharusnya mobil-mobil yang datang ke rumah ini harus berhenti. Hanya di sekitaran area jalan masuk di pinggir taman, masih cukup jauh dari air mancur yang akan menyambut kami sebelum memasuki pilar pintu masuk.

"Kamu nggak kangen rumah memang?" tanya beliau.

Aku memang membawa mobil dari Bandara langsung menuju tempat Ibu dengan alasan ingin menemui beliau segera. Papi sudah membujukku untuk kembali ke rumah terlebih dulu dan kami akan datang besok pagi dengan pantas sebelum abu Ibu dibawa ke Kalimantan. Namun aku menolak dan bersikeras membawa mobil sedan Papi ke tujuan yang aku mau, sampai Papi menungguku cukup lama di sana tanpa aku perbolehkan ikut turun dari dalam mobil. Aku hanya ingin menikmati waktuku di sana untuk mengenang Ibu.

Sejak pulang dari tempat Ibu, Papi bersikeras kalau beliau yang akan menyetir mobilnya sendiri dengan alasan aku menyetir dengan ugal-ugalan dan tak enak. Padahal aku menyetir dengan sangat hati-hati karena sudah lama tidak menyetir di jalanan Jakarta. Aku menolak keras, jelas. Papi yang menyetir sendiri terdengar lebih membahayakan dibanding aku yang ugal-ugalan. Tahu bagaimana jarangnya beliau menyetir dulu, rasanya untuk menekan pedal gas dan rem saja aku rasa beliau bisa ragu-ragu. Itu alasan pertama.

Alasan keduanya adalah—ini, aku tahu beliau akan membawaku ke sini. Yang beliau sebut 'pulang ke rumah' tadi. Sebuah rumah mediterania modern yang sangat besar dan mewah di daerah Menteng. Rumah besar yang memiliki 4 buah bangunan yang mengelilingi bagian tengah taman dan kolam renang ini dihuni oleh satu keluarga yang memiliki kerajaan bisnis yang besar. Dan pemiliknya kini duduk di sampingku, sedang berusaha melepas sabuk pengaman yang melilit tubuhnya sebelum mengajakku keluar dari dalam mobil.

Aku mengikuti Papi untuk turun dari mobil dengan gerakan malas dan dua petugas keamanan di depan tadi segera datang ketika Papi memanggil. Aku melirik ke arah bangunan pertama yang menjadi tampak depan rumah ini dan Doni muncul dari pintu masuknya. Lelaki itu mendekat ke arah kami dan sekali menyapaku dengan menundukkan kepala.

"Koper-koper Mbak sudah saya minta bawakan ke kamar Mbak," ucapnya masih dengan sopan.

"Thanks!" balasku seadanya.

Papi sedang memberikan arahan kepada dua petugas dan dengan segera memberikan kunci mobil kepada Doni sebelum menggandengku untuk memasuki rumah.

"Papi buat kolam renang di tengah jadi lebih besar, loh, ada teras yang nyambung sama ruang baca kalian dulu. Jendela-jendelanya Papi jadikan pintu besar jadi kalau kalian santai-santai di sana sinar matahari bisa masuk, plus there is a water shadow from the swimming pool," oceh Papi ketika kami berjalan melewati air mancur yang ada di depan pintu masuk.

Wacana merenovasi rumah sudah ada sejak terakhir kali aku berkunjung ke rumah saat Natal tahun lalu. Hanya untuk menginap semalam dan mengunjungi mendiang Ibu yang dulu masih terlihat sehat bugar. Papi selalu ingin membuat rumah ini nyaman untuk dikunjungi saudara-saudara. Tapi alasan utama yang selalu beliau lontarkan adalah—

"Papi cuma mau bikin anak-anak Papi betah di rumah walau cuma sehari dua hari menginap," cetus beliau melanjutkan ocehannya.

That's it.

"Aku kan nggak bisa berenang," kataku yang dengan berat hati melangkah masuk ke dalam pintu rumah. Menyahuti Papi sama seperti menyahuti Brie. Dua manusia jantan dengan otak pintar yang dimiliki keluarga ini.

FairwayTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang