10

179 34 1
                                    


"Sorry, ya, hari pertama harus langsung dikasih sibuk."

Sebuah gelas berwarna cokelat dengan embun menyegarkan mengelilingi setiap sisinya terlihat menggoda ketika diletakkan di atas meja tepat di hadapanku.

Aku baru saja duduk setelah setengah hari ini sudah dibuat mondar-mandir ke mesin fotocopy dan kubikel meja yang kursinya aku duduki ini. Selesai dengan berkas-berkas yang katanya urgent untuk dibawa ke Pekanbaru siang nanti. Kakiku sudah hampir copot rasanya karena mengenakan sepatu heels 7 senti yang aku pilih untuk hari pertamaku di kantor ini. Bahkan setelan pakaian putihku ini sudah hampir berwarna kucal rasanya. Aku seperti benar-benar salah kostum.

Wanita yang sejak tadi mengajariku dan memberi arahan untuk mengerjakan ini dan itu bernama Seia. Seia mengatakan kalau dia sudah hampir 2 bulan ini mengerjakan pekerjaannya seorang diri, sebagai Back Office Support and Document Controller. Sedikit keteteran karena dia bisa mengerjakan segala hal yang dibutuhkan divisi apapun perihal dokumen atau administrasi, terlebih dokumen-dokumen yang dibutuhkan oleh para direksi.

"Ini diminum dulu, Zen." Katanya dengan ramah. Dia membawakanku segelas es teh yang sebelumnya dipesan melalui sang OB yang sudah mengelilingi meja-meja untuk menanyakan soal makan siang. Dan ini memang sudah mendekati waktunya.

"Thanks!" ucapku dengan rasa syukur. Langsung menyeruput es teh yang rasanya sangat amat segar ini, tenagaku seketika kembali pulih dengan cepat. Kandungan glukosa di dalamnya cukup memulihkan energiku.

"Gue tuh udah minta orang baru dari lama, tapi GM operation agak susah kalau ada request-request anak baru. Beliau maunya yang spek tinggi tapi budget bayaran yang biasa. Ya pasti ada aja, sih, yang mau. Tapi paling cuma buat batu loncatan aja. Nggak ada setahun, cabut."

Keningku mengernyit mendengarkan keluhan Seia yang sudah bersandar di kursinya sembari menyeruput minuman boba yang dipesannya.

"Lihat tuh, di sini orang sibuknya nggak kelar-kelar. Ini kita bisa minum-minum dulu, karena dokumen lagi difilter. Biasanya nanti balik, ada revisi lah, ada yang kurang lah. Kita mesti nyari sendiri, minta ke divisi yang bersangkutan buat revisi, nunggu lagi. Kalau nggak mau lama ya kita kerjain sendiri. Dikejar waktu dan bisa sering kena omel karena out of time."

"Oh, ya?"

Kok kedengarannya aku agak familiar.

Seia mengangguk mantap. "Atasan di sini agak susah untuk puas sama kerjaan bawahan. Tingkat kepercayaan mereka buat kita-kita sangat amat kurang kayaknya. Jadinya ya, kita akan salah terus, ada celah terus."

Dengan memberengut, Seia mencurahkan isi hatinya yang aku dengarkan dengan saksama.

"Heh! Nyantai banget lo?" Seorang wanita berjilbab datang dan menepuk kaca meja kubikel milik Seia. "Anak baru, ya?" matanya menggerling ke arahku.

Seia mengangguk dan menoleh ke arahku. "Zen, ini Mbak Rachma. Bagian AP, soal tagihan."

"Hai!" sapaku dengan melambaikan tangan ke arahnya.

"Eh, bisa ngomong indo?" tanyanya dengan takjub. "Kirain bule, loh." Kalimat terakhirnya jelas menegaskan bubuhan candaan.

Seia menoleh ke Mbak Rachma dan kembali ke arahku dengan cepat. "Muka lo terlalu bule, Zen. Gue juga tadi nyaris kegocek, sih. Tapi kata HR kemarin juga anak baru mukanya agak-agak blasteran. Eh, lo udah ke HR, kan?"

Aku menggelengkan kepala. "Nanti aja, deh." jawabku.

"Gue kira udah ke HR, makanya gue langsung kasih kerjaan." Seia terlihat agak sedikit panik.

FairwayTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang