3 : it's raining now

11 5 3
                                    

Buatlah cerita dengan tema, "Warung"

[]

Ada tujuh keajaiban dunia, yaitu: Tembok Besar China, Colosseum, Machu Picchu, Taj Mahal, Patung Christ The Redeemer, Chichen Itza, serta Pak Sasmito yang datang di musim hujan. Semenjak bulan September ini hujan sudah mulai turun. Frekuensinya tidak terlalu sering, tetapi pasti turun di hari Selasa dan Kamis, tepat jadwal mengajar Pak Sasmito.

Para anak laki-laki sudah memutuskan hengkang dari kelas sejak empat puluh menit yang lalu ketika Bu Masyitah keluar. Mereka pikir mustahil Pak Sasmito datang ketika sejak tadi langit sudah berubah gelap. Pasti sebentar lagi akan hujan, katanya. Rupanya, sampai saat ini hujan belum kunjung turun, hanya gerimis tipis-tipis disertai petir dan guntur yang terus bersautan.

"Nay, ayo nyusul anak cowok," ajak Dhanti.

"Gue aja," balasku.

"Loh, ini cowok-cowoknya pada ke mana?" Baru dibahas dia sudah sadar duluan.

"Ini mau saya susul, Pak," jelasku segera beranjak dari kursi.

"Nay," panggil Dhanti lagi seraya menyerahkan sebuah payung besar.

"Oh, makasih." Aku menerimanya.

Ketika aku sudah sampai di ambang pintu Pak Sasmito menegurku, "Itu bajunya rapihin dulu."

Aku meraba kemejaku, lantas berbalik badan. "Oh, iya, Pak."

Setelah keluar dari kelas aku langsung berlari menyusuri koridor lalu menuruni tangga. Hanya satu tempat yang akan mereka kunjungi ketika kabur dari kelas.

Aku keluar dari sekolah melewati sebuah pintu rahasia yang tempo hari lalu pernah dijaga secara ketat tetapi entah kenapa sekarang sudah tidak dijaga lagi sehingga para bekantan IPS 4 dapat lebih mudah melarikan diri.

Nah, itu dia. Bekantan-bekantan IPS 4 di habitatnya, warung Bu Neneng. Ada yang sedang rebahan, ngopi, main catur, plonga-plongo.

"Woy! Balik woy! Pak Sasmito dateng!" sambarku begitu menginjakkan kaki di sana.

Mereka semua melongo kebingungan menatapku. Semua kegiatan mereka terhenti. Bahkan Jerico yang tadi sedang asik rebahan ikut mengangkat wajahnya. "Tumben." Sean angkat suara. Si bule makin hari makin melokal saja. Cuma satu hal yang belum membuatnya jadi orang lokal sepenuhnya, yaitu belum bisa jongkok.

"Serius?" Malik ikut menanggapi.

"Ye, masa gue boong." Aku bertolak pinggang.

"Masukin bajunya Nayla!" tegur Ali.

"Eh iya, makasih, makasih." Aku langsung melipir sembunyi ke balik mobil yang terparkir di sebelah warung untuk memasukkan baju seragamku.

Aku kembali lagi ke hadapan mereka. "Ayo buruan!"

"Males ah, pelajarannya bikin ngantuk, PPT-nya nggak jelas," protes Jerico.

"Bukannya lu emang selalu tidur," timpalku kesal.

"Ngopi, Nay," ucap Bagas sambil nyengir dan menyodorkan kopinya.

"Kuaci, Nay." Wawan ikut-ikut.

"Ih, keburu ujan!"

"Kopi gue belom dateng, Nay, sabar."

"Bentar gue ngabisin Indomie dulu."

Sadar sesuatu menetes ke atas kepalaku, aku menengok. Kudapati butiran air kini mulai menetes lagi. Kini makin deras.

Kesabaranku sampai pada puncaknya, aku akhirnya berkata, "Mampus lu keujanan! Balik sekarang basah kuyup, mendingan gue alpa-in." Aku membuka payung milik Dhanti.

"Iya, Nay, iya," balas Ali.

"Kopinya nggak jadi, Bu!" seru Reihan.

"Ya Allah, udah diseduh, Kasep," keluh Bu Neneng.

"Ya udah, Bu, nggak apa-apa saya bayar aja."

Aku mulai membalik badan, lalu berjalan pelan meninggalkan warung tersebut. Aku sudah malas menghadapi mereka. Meski begitu, setengah lagi dari hatiku masih memberi kesempatan pada mereka yang ingin kembali ke kelas. Tentu risikonya lebih besar ketika aku kembali ke kelas tanpa membawa orang-orang ini. Namun, aku capek.

Kenapa ya aku yang dipilih jadi ketua kelas?

"Sini, Nay, payungnya." Ali merampas payung tersebut dari tanganku. Aku otomatis menengok ke arahnya dengan tatapan sinis.

"Maaf ya, Nayla," ujar Sean.

Aku mendengkus. "Iya, Sean."

"Dih payungannya berdua doang, yang lain nggak kebagian!" protes Wawan.

"Sini gua aja yang bawa payung." Sean mengulurkan tangannya.

Ali mendengkus geli. "Lu mah pake kresek aja!"

"Ambil, Sen, lu yang paling tinggi," ucapku. Ali lalu menyerahkan payungnya pada Sean sehingga lebih banyak lagi orang yang terlindungi payung meski tak semuanya dapat dan kini wajahku kena air.

Sejak tadi mereka tak bersuara lagi, mungkin menyadari suasana hatiku yang tak enak karena mereka. Aku makin larut dalam pemikiranku. Aku terus bertanya-tanya. Kenapa aku?

Aku bukan murid paling pintar. Aku jelas jauh dari kata teladan. Masa cuma gara-gara aku paling tua?

Mungkin kalau aku tak menjabat sebagai ketua kelas aku akan jadi murid tukang bolos, tak jauh berbeda dari anak laki-laki ini, malah bisa lebih parah.

Aku pernah tanya beberapa teman di kelas soal hal ini. Beberapa dari mereka menjawab, "Kalo bukan lu emang siapa lagi?"

Aku tak akan mau jika bukan dipaksa.

Mey mungkin masih mau jadi ketua kelas. Ali juga bisa kok jadi ketua kelas. Bahkan mungkin dia bisa lebih baik dalam menggerakkan anak laki-laki di kelas. Masih banyak opsi lain.

Mereka bilang aku salah satu yang dominan di kelas. Mereka bilang aku bisa akrab dengan semua orang. Mereka bilang karena aku yang mengusulkan nama "REAKSI IV"

[]

Oke lah ya ada unsur warungnya.

Chapter ini nggak aku baca ulang sama sekali. Jadi, maafin kalo ada yang typo atau ambigu.

Hari ini aku sibuk banget. Sibuk mukbang prasmanan ..., eh kondangan maksudnya. Juga ngurus beberapa hal lainnya. Untung temanya masih santai.

Sabtu, 3 Februari 2024

REAKSI IV - NPC Daily Writing Challenge 2024 || ENDWhere stories live. Discover now