Waktu Istirahat

Comincia dall'inizio
                                    

"Selama seminggu full bakalan terus latihan fokus ujian aja?" tanya Muthi.

"Yap." Jawad menyeruput es teh milik Ali. Ia lupa pesan minuman. "Seminggu TOEFL, seminggu IELTS. Abang biar jongjon (tenang) kalau udah dapet skornya." Jawad lanjut menceritakan tentang pentingnya skor kedua ujian tersebut untuk masuk kerja dan mendaftar beasiswa luar negeri jika sepupunya mau. "Kalian harus balik lagi ke sini nanti. Ambil kelas kayak Abang," tutupnya dan meraih sepotong sosis punya Zahra.

"Ngapain? Minta ajarin Abang aja kali," Ali yang tidak mau ribet, mengusulkan jalan pintas terbaik.

"Kapaaan?" ledek Jawad. "Mau kapan? Setiap liburan semester? Yakin?" sanggahnya dan sekarang mencomot potongan roti bakar terakhir milik Muthi.

Muthi memandang datar sepupunya. Ia masih menikmati roti itu. Padahal, Jawad sudah dapat jatah dua potong tadi.

"Kenapa?" Jawad memasang wajah tak berdosa. Ia menahan tawa.

"Ikhlas kok ikhlas," kata Muthi yang masih lapar ikut berdiri dan menghampiri kantin jajanan. Abang Jawad tertawa dengan ciri khasnya yang 70% bahu gerak, 20% cengiran, dan 10% hehehe dengan suara yang bergetar di kerongkongannya.

Ketika Muthi sampai di sebelah Harrir untuk mengambil sari roti bantal rasa cokelat, Hendar Suhendar baru saja datang dan menyapa mereka. Hendar mengangguk sopan pada Muthi yang balas dengan anggukan pelan.

Hendar berbisik pada Harrir. "Sepupu maneh (kamu) emang judes gitu ya?"

Muthi mengambil rotinya dan menunjuk Hendar. "Urang denger (aku denger)," katanya lalu menggigit roti, kembali ke tempat duduknya.

Harrir tertawa geli saat Hendar membuka mulutnya terpana. "Eh, btw maaf ya buat yang tadi. Gak maksud menyinggung nama geng kalian."

"Hahaha. Geng? Santai aja, kali. Gak penting juga. Anggap we heureuy (anggap saja bercanda)," kekeh Harrir sambil memasukkan kedua tangan ke saku celananya.

Hendar Suhendar tersenyum tipis. Ia mengusap rambutnya yang sangat tebal dan hitam. "Emang bener sih urang penasaran. Kenapa harus The Mumuns?" Hendar Suhendar masih saja mempertanyakan asal-usul nama mereka.

Harrir memandang gorengan-gorengan di atas meja cukup lama. "Ya..." Harrir sudah pernah bersumpah tidak akan pernah menyebutkan pengalaman masa lalu soal Yanto Hartono di lidahnya lagi, apalagi sampai diceritakan dari A hingga Z. "Kita suka horror." Namun, Harrir tidak tega melihat wajah planga plogo Hendar Suhendar yang pikawatireun (membuat iba), jadi dia spill sedikit saja. "Sebenarnya keluarga urang pernah diteror pocong. Tapi itu udah lama. Gak penting. Eh, udah beres Mba? Wih, makasih. Ini uangnya. Pas ya? Matur suwun."

"SUMPAH, RIR?"

Harrir menyuruh Hendar mengecilkan suaranya ketika Muthi berlari kecil kembali ke kantin tersebut. Ia lupa membayar roti cokelat tadi. Sebenarnya tanpa Harrir harus menyuruh Hendar tutup mulut pun ia sudah tahu percakapan mereka mengarah kemana. Obrolan mereka keras sekali. Suara mereka yang sedang berbincang sampai terdengar ke bapak tukang sapu di spanduk besar yang sempat melirik penasaran. Padahal jaraknya lumayan jauh.

"Nya kitu (ya gitu)." Harrir membawa mangkuk mie kuah yang mengepul panas dan membuat air liur Hendar menetes. Harrir menatap kawan barunya dengan serius. "Gak usah ditanyain lagi. Kita juga nyoba ngubur kenangannya dalam-dalam."

"Tapi kenapa atuh dipake ke nama persepupuan kalian?" tanya Hendar ketika Harrir mulai melangkah menjauh.

"Kuburan juga ada nisannya, 'kan?" ujar Muthi sambil mengisyaratkan Harrir untuk bungkam soal cerita itu melalui sorot matanya dan kembali ke kursi.

BELASUNGKAWA IIDove le storie prendono vita. Scoprilo ora