Namamu Nara, 'kan?

22 1 0
                                    

"Jika bertemu dengan orang baru akan membuat hidupku berubah, maka aku tak mau berjanji untuk mengindahkannya."

—El_Ma

***

Aku menatap gadis kecil yang katanya adik kelasku itu, bahkan kupandangi dengan seksama setiap inci wajahnya. Saat di sampingku sepanjang jamaah ini, dia hanya diam dan terlihat khusyu' dalam sholatnya. Berbeda saat bersama Mbak Nala, aku sering kali mencandainya dengan berbagai hal, bahkan ummi yang—juga—sedang khusyu' di depan sana langsung memarahiku karena asyik sendiri. Namun, di samping Nara aku hanya bisa diam; terlebih kami belum cukup akrab untuk berbincang, bukan?

Tiba-tiba dia menoleh ke arahku; sepertinya risi karena merasa diperhatikan sejak tadi. Aku jadi gelagapan sendiri dan salah tingkah, apalagi tatapan datarnya seperti menusuk tajam ke mataku.

"Namamu Nara, 'kan?" tanyaku dengan lirih, cukup lirih dan hampir tidak terdengar karena suara mbak-mbak yang melantunkan dzikir terdengar mendayu-dayu. Benar, sepertinya dia tidak mendengar suaraku, bahkan dia tidak lagi menoleh ke arahku. Ah, menyebalkan. Aku sangat bosan kalau hanya diam seperti ini. Ikut membaca dzikir? Ya, seharusnya, sih.

Akhirnya aku diam. Terus diam. Lalu ... diam-diam mengantuk.

Aku merasakan ada sebuah guncangan kecil di lenganku, dan dengan mata yang agak berat aku melihat ke orang yang berniat membangunkan alam bawah sadarku.

"Mbak Nala?" lirihku, tapi wajah Mbak Nala terlihat berbeda.

"Ini Nara, Ning, bukan Mbak Nala ...."

"Oh ... iya ... namamu Nara, 'kan?" Aku masih setengah sadar, bisa dibilang seperti orang yang kehilangan kesadaran dan berusaha untuk menanggapi ucapan yang dilontarkan. "Aku ngantuk banget, Ra. Nanti aja, ya ...." Dengan percaya dirinya aku langsung ambruk untuk tidur ke atas sajadah. Dan percayalah, ini sudah biasa terjadi, semua orang tidak akan heran saat melihat nya. Kecuali ... si Nara-Nara ini ....

***

Mataku mengerjap berat, kepalaku pusing sekali untuk ditegakkan. Aku meraba mukena yang kupakai tadi, tapi ... loh? Ke mana mukenaku? Lah? Kok aku sudah ada di kamar?

Aku mengucek mata berkali-kali dan memastikan bahwa ini kamarku. Dan, ya, ini benar kamarku sendiri. Entah bagaimana aku bisa sampai di sini dengan keadaan yang berbeda, rasa-rasanya tidak mungkin juga kalau aku berjalan sendiri saat tertidur di aula utama tadi.

Pintu kamarku dibuka pelan, tapi dengan bodohnya aku kaget saat melihat sosok yang sekarang lumayan familiar di mataku itu masuk dengan wajah datarnya. "Eh ... Assalamu'alaikum, Ning ... dingapunten, Nara kira Njenengan masih sare ...."

"Bawa apa itu?" tanyaku dengan penasaran, dan entah kenapa tiba-tiba perutku seperti protes minta diisi.

"Bubur, Ning ... tadi Nara buatkan, jaga-jaga kalau Njenengan sampun wungu ...." Si Nara-Nara itu berjalan dengan berniat mendengkul, tapi aku menyetopnya agar berjalan biasa saja.

"Sini ... duduk aja ...." Aku menepuk pinggir kasurku agar dia duduk di sana. Namun, dia malah lebih memilih duduk di bawah. "Sinio, Ra ... aku nyuruh kamu duduk di kasur, bukan di bawah!" ucapku tegas, akhirnya dia menurut dan duduk di pinggir kasurku juga, tapi masih dengan menunduk dalam.

Aku menghela napas, tapi mencoba bodoamat. "Suapin," ucapku singkat, cukup membuat dia terkejut karena wajahnya yang datar sedikit mengerutkan kedua alisnya saat melihat ke arahku. "Iya, suapin," ulangku lagi. Aku membenarkan letak dudukku agar lebih nyaman, kemudian menerima suapan dari tangannya.

Ning ElmaWhere stories live. Discover now