II

4.7K 59 11
                                    

Meskipun rasa ingin tahu melanda, aku tidak berani menanyakan kepada Aksa alasan mengapa ia mencari pasangan melalui aplikasi haram. Aku memilih untuk tetap diam dan tidak banyak bertanya, membiarkan Aksa memimpin jalannya segalanya. Jujur saja, aku benar-benar tidak tahu apa yang seharusnya aku lakukan, aku berada di aplikasi itu hanya karena terpaksa.

Aksa melihat kebingunganku sejak tadi dan tertawa.

"Apakah kamu setuju untuk menjalin hubungan yang serius denganku?" tanya Aksa padaku.

Aku merasa kebingungan, apakah seharusnya aku benar-benar menerima tawarannya, ataukah sebaiknya aku mengoreksi penawarannya.

"Tapi, apakah mungkin kita memulai dengan hubungan yang lebih santai? Seperti pacaran misalnya," ucapku sambil menatapnya.

Ucapanku dijawab dengan anggukan olehnya.

"Baiklah, aku siap melakukannya," itulah jawaban yang diberikan Aksa padaku.

🌟

Setelah pertemuan kami kemarin, Aksa meninggalkanku di salah satu kamar hotel. Aku beristirahat di sana, mencerna apa yang akan terjadi selanjutnya. Jika aku menerima tawarannya, hidupku akan mudah dengan kekayaan yang tak perlu kucari lagi, karena aku akan memiliki suami seperti mesin ATM yang selalu memberikan segalanya. Namun, jika aku menolak tawarannya, aku harus mencari pekerjaan yang sulit didapatkan.

Kini sinar matahari menyinari ruangan melalui ventilasi dan jendela kecil. Sang mentari telah kembali menampakkan keindahannya.

Setelah menyempatkan mandi pagi, aku melanjutkan rutinitas perawatan kulitku dengan santai. Sambil melantunkan lagu galau yang mengalun dari aplikasi musik di handphoneku.

Namun, tiba-tiba lagu yang mengalun terhenti. Digantikan oleh dering telepon yang memecah keheningan dari handphoneku. Aku segera membuka handphone dan melihat ada panggilan masuk melalui aplikasi WhatsApp. Tanpa ragu, aku menjawab panggilan tersebut. Saat terhubung, terdengar suara seorang lelaki yang baru-baru ini aku kenal.

"Halo, mengapa baru diangkat, Hanna? Apakah harus menunggu begitu lama untuk menjawab teleponku?" ucap Aksa dengan nada kesal terdengar jelas melalui telepon.

Aku merasa kesal juga, mengapa harus diserang dengan begitu banyak pertanyaan. Padahal aku tidak membiarkan teleponnya tak terjawab selama beberapa jam.

"Aku sedang melakukan perawatan kulit, maaf jika aku terlambat mengangkat," ucapku dengan suara pelan, dan aku bisa mendengar suara nafasnya yang terengah-engah.

"Aku khawatir, kapan kamu akan datang ke kantor? Aku sudah membeli sarapan pagi, segera lah kemari," ucap Aksa dengan suara pelan.

Aku terkejut mendengar dia mengungkapkan perasaan cemasnya. Apakah aku begitu penting baginya sehingga ia merasa khawatir? Padahal kami baru saja bertemu sekitar dua puluh empat jam yang lalu, dan itu pun hanya untuk pertemuan dan tawaran. Namun, jujur saja, aku merasa sedikit malu ketika ia mengungkapkan hal tersebut padaku. Pipiku terasa memerah seperti tomat.

"Halo? Hanna?" ucap Aksa dengan suara lembut melalui telepon. Aku tersadar bahwa aku telah mengabaikan pertanyaannya. Aku segera merelaksasikan pikiranku.

"Oh iya, aku akan segera pergi, tapi memesan taksi membutuhkan waktu sedikit lebih lama. Kamu bisa sarapan terlebih dahulu," ucapku pada Aksa, dan aku bisa mendengar desahan kecil dari Aksa.

"Aku akan menjemputmu, tunggu saja di lobi hotel. Selesaikan rutinitasmu dengan tenang, aku akan mematikan telepon ini sejenak," ucap Aksa, dan aku setuju dengan permintaannya.

Aku kembali terkejut, mengapa Aksa begitu perhatian padaku? Ah, aku ingin bertanya langsung padanya. Apakah ia benar-benar serius dengan ucapan untuk menjadikanku istrinya?

 Waktu Hidup : AkNaWhere stories live. Discover now