3... 2... 1...

Mereka bertiga melesat dari parkiran dormhouse dengan kecepatan tinggi. Ketiganya berlarian keluar dari gerbang dengan langkah-langkah yang lebar. Angin yang disebabkan oleh pergerakan tubuh yang bergerak begitu kencang menerpa rambut gondrong Jawad yang belum diikat. Jalan yang mereka lalui seperti jalur jalanan khusus untuk lari pagi. Kanan kiri mereka adalah pepohonan rindang yang berjajar dengan sangat rapih berpuluh-puluh meter ke depan. Hanya saja, tidak ada orang lain yang melalui jalan itu. Dormhouse pun sudah sepi sejak jam setengah 7. Itu artinya, mereka memang terancam terlambat.

Telepon Jawad berdering. Ketika Jawad mengeluarkan ponselnya, nama Mehri tertera di layar.

"Abang dimana?" tanya Mehri dari seberang sana. Ada nada cemas dalam suaranya.

"Kalian jalan aja ke gedungnya! Kita—ini—lagi—lari—mobilnya—gak nyala!" seru Jawad. Ia lupa bahwa saudara-saudara perempuannya menunggu untuk dijemput.

Terdengar Zahra yang ber-hah mengeluhkan perintah Jawad. Jawad tahu jarak dari dormhouse putri ke gedung utama tidak juga dekat. "Apalagi kita! Buruan, kalian gak boleh telat!" sambung Jawad pada akhirnya. Mehri pun mengiyakan dan saluran telepon terhenti.

Dengan tetes peluh yang sudah keluar dari pori-pori dan bekal sarapan di dalam perut sudah diubah menjadi energi, Harrir menggerling pada Ali ketika mereka sudah keluar area pepohonan. Sinar mentari menyorot wajah ketiganya yang sudah hampir kelelahan.

"Jam berapa sekarang, Li?" tanya Harrir sambil masih terus berlari.

Ali menunduk, mengangkat tangan kanannya. "WEH ASTAGHFIRULLAH!" serunya, mengerem mendadak. Harrir dan Jawad spontan berhenti. Mereka mengatur nafas dengan susah payah.

"Ada ap—" ucapan Jawad terpotong.

"JAM 7:45!" Ali melotot di balik kacamatanya yang berembun. Jamnya rusak. Tidak maju lagi. Padahal mereka sudah berlari cukup lama.

Jawad kembali meraih ponsel dari dalam saku celananya dengan perasaan was-was.

7:57.

"BAHLULLLLLLL!!!!!" Harrir berteriak nyaring, membuat dua kucing yang sedang memadu kasih di balik semak-semak berlari terbirit-birit.

⚰️⚰️⚰️


Untuk pertama kali dalam hidupnya, Zahra  berada di dalam kelas berarsitektur Belanda. Sejak ia duduk di bangku SD sampai di tahun terakhir SMP-nya sekarang, yang menjadi pemandangan sehari-hari hanyalah bangunan dengan fasad khas timur tengah—tiang-tiang tinggi kobong pesantren, tembok kelas yang khas dengan ukiran-ukiran islami atau masjid dengan kubah-kubah megah di atasnya.

Kepala Zahra terus menoleh ke atas, ke kanan, ke kiri, ke belakang, ke depan, sampai berputar keluar jendela untuk menikmati atmosfer yang terasa di dalam ruangan yang menyimpan sejarah kolonial. Meski terkesan seram, tapi karena banyak orang ia sampai tidak kepikiran hal-hal horror ketika berada di sana. Senyum manis tidak luntur dari wajahnya yang memang dipahat cantik. Membuat seorang anak laki-laki—tampak seumuran dengannya—dengan rambut klimis berpomade, berkacamata supertebal, berbingkai hitam pekat, terus menerus meliriknya diam-diam dari arah bangku belakang.

Tatapannya yang genit sambil menggigit ujung pulpen lama kelamaan membuat Zahra menghentikan senyumnya. Gadis remaja itu menghadapkan tubuhnya ke arah Muthi dan Mehri dan melaporkan apa yang membuatnya risih.

"Apaan, sih, anak cowok yang di belakang bikin gak nyaman aja," komen Zahra. Ketertarikannya terhadap kelas Belanda itu seketika luntur.

Mehrilah yang menoleh ke belakang pertama kali. "Yang mana?" Ada banyak anak laki-laki SMP yang duduk di sana, dan tak ada satupun yang sedang melirik ke arah mereka.

BELASUNGKAWA IIWhere stories live. Discover now