“Hey, pasukan,” panggil Jawad dengan keras dari meja resepsionis. Suaranya menggema ke seluruh aula.

“Yaaa!” balas pasukan yang dimaksud. Para sepupu begitu bebas untuk berbicara kencang-kencang karena tidak ada pengunjung lain di gedung itu pada jam 7 malam seperti ini. Itulah kenapa Muthi bisa mendengar aktivitas belajar dari arah koridor, karena memang ini sudah waktunya orang-orang Belanda itu melaksanakan pembelajaran.

“Ayo ke dorm,” ajak Jawad lalu berterima kasih sekali lagi pada petugas resepsionis. Mehri, Muthi, Harrir, Zahra, dan Ali berjalan beriringan menuju pintu. Di teras, Jawad menyerahkan kunci kamar asrama perempuan kepada Mehri. “Jaga diri baik-baik. Kalau ada apa-apa telepon pusat,” kata Jawad sok penting.

Satu persatu, mereka pun kembali masuk ke dalam mobil untuk melanjutkan perjalanan ke asrama masing-masing. Sebelum Harrir memasukkan kakinya ke dalam jok belakang, ia menoleh sekali lagi dan tersenyum pada gadis berkebaya hitam yang kini berdiri di dekat pintu masuk. Gadis itu melambai dengan anggun, Harrir menelan ludah. Sontak batinnya otomatis berucap, “Nanti aku ke sini lagi, ya.” Sang gadis mengangguk. Harrir melebarkan mata, ternyata komunikasinya bisa sampai hanya dalam hati.

BURU, ANJAY! (Cepetan)” Ali meninju pantat Harrir yang menghalangi.

“Euhhhh, meni lila (lama banget)!” Zahra ikut menyahut. Sedari tadi dia sudah bolak-balik menatap Harrir dan pintu gedung bergantian, menerka pasti ada hantu yang sedang dilihat kakaknya. Sayang, ia tidak bisa menangkap sosok apapun.

Sang gadis lukisan terkekeh geli melihat Harrir yang pipinya sudah merona merah sambil masuk ke dalam mobil. Setelah semua dipastikan nyaman duduk di jok, mobil pun melaju kembali. Muthi memicingkan mata dengan curiga dari balik jendela kepada sosok gadis lukisan. Gadis Jawa itu masih memandangi mobil mereka, membuat Harrir mesem-mesem tidak jelas.

Hanya saja, tak lama dari memandang gadis itu, Muthi langsung membuang muka. Sang gadis malah ikut tersenyum ke arahnya dengan sudut-sudut bibir melebar sampai ke ujung telinganya. Seringai itu membuat Muthi sontak mencengkeram saku jaketnya sambil membaca doa. Senyuman yang sangat berbeda dengan yang gadis itu berikan pada Harrir.

⚰️⚰️⚰️

"Yoo dadah!" Jawad melambaikan tangan dan pergi meninggalkan ketiga sepupu perempuan di depan gerbang asrama mereka.

Muthi, Mehri, dan Zahra menurunkan tangan mereka setelah melambai dengan agak lemas. Kemudian menggenggam koper dengan erat dan memutar badan secara bersamaan.

Persis di depan mereka, ada gerbang hitam yang tidak terlalu tinggi. Hanya sampai seleher orang dewasa. Jingjit sedikit, mereka bertiga bisa melihat suasana dan bangunan dormhouse putri. Tampak seperti kos-kosan, terdiri dari dua gedung yang saling berhadapan. Kamar-kamarnya berjajar sampai ke ujung. Halamannya tidak terlalu luas dan cat temboknya berwarna krem dengan pintu dan jendela dicat cokelat gelap. Beberapa lampu depan kamar menyala, tapi tidak semua. Itu artinya, banyak kamar yang masih kosong. Mereka bertiga langsung tahu bahwa pengunjung perempuan English Academy Solo pada liburan kali ini tidak sepadat biasanya.

"Hayu masuk," Mehri membuyarkan keheningan yang melanda. Mereka pun membuka gerbang yang tidak dikunci dan menutupnya kembali.

Seorang perempuan paruh baya tiba-tiba saja menghampiri mereka dari arah kiri gerbang. Zahra terlonjak dan tubuhnya sampai melompat sedikit.

Wanita itu sedikit berlari ketika menghampiri. Ia memakai atasan kaus biru dongker dan celana santai berwarna hitam. Melihat Zahra terlonjak, ia langsung meminta maaf.

"Aduh, nyuwun pangapunten," katanya sambil tersenyum ramah pada Zahra. Suaranya terdengar saat keibuan, dengan beberapa kerutan kecil di wajahnya yang berkulit sawo matang. Rambutnya digelung rapih, ada kalung dengan batu hijau menyala di lehernya. "Ini Muthi, Mehri sama Zahra ya?" Beliau menunjuk Mehri, Zahra, dan Muthi bergantian.

BELASUNGKAWA IIWhere stories live. Discover now