Chapter 4 : Pacar Tanpa Nama

6 1 0
                                    

Sontak orang-orang menoleh ke arah sumber suara. Sosok laki-laki berambut hitam kecoklatan dengan model rambut cempak melangkah mendekati mereka. Tangannya dengan santai meraih tangan kanan wanita itu dan merangkulnya.

"Apa kalian gak liat kalo dia sudah ada janji." Laki-laki itu menatap ketiga orang tadi dengan tatapan tajam sembari tersenyum.

"Dia yang menyerang kita duluan!"

"Apa lo pikir gua buta? Jelas-jelas lo yang dekat-dekat cewek gua!" Lelaki itu melihat ke arah dua pria yang tergeletak di rumput kemudian tersenyum sinis. "Lagian, kalian cupu amat. Hanya disetrum dengan stun gun aja, kalian sudah tidak berdaya. Jauh-jauh dari cewek gua atau gua panggil polisi!"

"Brengsek!" Pria dengan cepat melayangkan pukulannya. Namun, kepalan tangannya dapat dengan mudah ditangkis oleh lelaki itu. Dengan cepat ia mengunci kedua tangan pria dengan kaos hitam itu di belakang. Dengan cepat, tangan kirinya melayang ke leher pria itu hingga jatuh tergeletak seperti kedua temannya.

Kerumunan yang mengamati berdecak kagum, seolah baru saja menyaksikan pertunjukan aksi gratis. Lelaki berjaket jeans berwarna hijau tua itu kemudian menggenggam tangan wanita itu dan membawanya keluar dari kerumunan. Tidak ada yang menghentikan mereka berdua. Mungkin karena masih terpukau dengan aksi tadi, atau mereka memilih mengawasi tiga penjahat itu. Tidak ada yang tahu.

Lelaki itu terus menggenggam tangan si wanita dan membawanya ke sisi lain alun-alun Begitu terlihat lebih sedikit orang di sekitar, wanita itu menepis tangan laki-laki itu. "Apa yang kau lakukan?"

"Bukankah terima kasih adalah kata yang tepat, Nona."

"Aku bertanya apa yang kau lakukan? Aku bahkan tidak mengenalmu dan kau dengan seenaknya mengatakan hal yang tidak-tidak."

"Bukankah lebih baik daripada terjebak dengan tiga preman itu?" tanya lelaki itu dengan kedua tangan terlipat di dada sembari tersenyum.

"Aku tidak meminta bantuanmu!" jawab wanita itu cetus.

"Tapi jika aku tidak di sana, mungkin kamu akan disangka pelaku kekerasan. Meskipun itu akan menjadi headline news yang menarik," ejek lelaki itu. Wanita itu terdiam. Ia tidak menyangkal apa yang dikatakannya. Jika dia membela diri, justru wajahnya akan terpampang dalam berita 'Kekerasan Tiga Lelaki Kekar oleh Satu Wanita'. Ia bisa-bisa tidak bisa keluar apartemen sama sekali selama berminggu-minggu. Membela diri saat itu juga pasti akan percuma.

"Oh, atau kau ternyata tertarik 'bermain' dengan mereka ber–" lelaki itu refleks tutup muluk kala tatapan tajam dari sang wanita mengarah padanya. Terdapat kebencian dan kejijian dari manik hitamnya. Namun, tatapan itu justru membuat laki-laki itu tersenyum jail.

"Jadi ... apakah aku bisa mendapatkan ucapan terima kasihku?"

Wanita itu menghela napas. "Terima kasih." Kemudian ia kembali berbicara dengan kedua tangan terlipat di dada. "Kau belum jawab pertanyaanku. Kenapa kau menolongku?"

"Karena kau tampak kesulitan. Bukankah sudah sewajarnya untuk menolong yang kesulitan."

"Bohong." Wanita itu tahu di masa ini, rasa apatis manusia kian meningkat. Kata menolong saja kini hanya menjadi sekedar formalitas belaka demi meraup popularitas. Segala kemudahan yang ada saat ini, membuat manusia semakin individual. Kata 'menolong' tanpa sesuatu dibaliknya kini tidak lebih dari 'sejarah masa lalu' yang lebih seperti mitos.

"Apa gunanya berbohong padamu? Lagipula alasanku tidak penting, bukan? Yang terpenting kau bisa terbebas dari mereka." Wanita itu hanya berdiri sesaat sebelum membalikkan badannya dan meninggalkannya seorang diri dengan langkah cepat.

Katakanlah ia kejam, tapi dia sama sekali tidak peduli. Mau bagaimana pun lelaki itu adalah orang asing. Meskipun telah menolongnya, tidak ada jaminan kalo dia bukan orang jahat seperti tiga pria tadi. Apalagi dia sangat tidak menyukai gaya bicaranya. Mengingatkannya pada hal-hal tidak mengenakkan. Hal-hal yang tidak ingin dia ingat. Sesuatu atau lebih tepatnya seseorang yang ingin ia lupakan. Dia sudah muak akan hal itu. Setelah berjalan cukup jauh, ia pada akhirnya meninggalkan alun-alun.

Kini wanita itu berada di perempatan besar kota. Meski hari sudah gelap, tapi huru hara jalan raya masih meriah. Banyak byvast berlalu lalang di jalan raya. Lampu-lampu lalu lintas yang dengan siaga menjaga ketertiban semua pengguna jalan. Selain lampu jalan, pemandangan kala malam menjadi tidaklah sunyi berkat berbagai iklan yang tayang dalam bentuk hologram di beberapa sudut jalan. Mulai dari hologram kecil setinggi orang dewasa hingga sebuah hologram raksasa yang menutupi satu sisi gedung. Banyaknya kendaraan membuat kehadiran wanita itu sebagai pejalan kaki tampak mencolok.

"Bagaimana tanggapan Bapak terkait kejadian ledakan beberapa hari lalu?"

Wanita itu sontak menoleh ke arah hologram raksasa yang menutupi salah satu gedung pencakar langit. Hologram itu menampilkan sosok lelaki berusia 40 tahun-an dengan rambut hitam dan kumis yang tidak terlalu tebal serta rambut di dagu yang terlihat baru saja dicukur. Kemeja hitamnya tak mampu menyembunyikan otot-otot hasil latihan bertahun-tahun. Namun, perawakannya membuat pakaian yang dikenakan terasa salah. Wanita itu berpikir ia lebih cocok mengenakan kaos atau seragam polisi atau tentara. Ditambah lagi bekas luka memanjang di pipinya menonjolkan tampang sangarnya

"Kemungkinan besar ledakan dini disebabkan oleh adanya malfungsi pada sistem perusahaan tersebut. Namun, kami menghimbau masyarakat untuk tidak panik karena dampak ledakan tersebut tidak berdampak pada lalu lintas ataupun bangunan yang berada di sekitarnya. Sehingga, masyarakat dapat beraktivitas dengan normal," jawabnya yakin.

"Apakah Bapak yakin? Bukankah Cowben Coorporation merupakan salah satu perusahaan terbesar di negeri ini?"

"Oleh karena itu, tim kepolisian masih menyelidiki penyebab dari peristiwa ini. Kami akan menyampaikan hasil penyidikan secepatnya."

"Begitulah hasil pers conference dengan Bapak Steve Revando, kepala kepolisian. Kini kita beralih ke berita berikutnya." Wanita yang menjadi reporter memberikan jeda pada ucapannya selama sepuluh detik sebelum melanjutkan. "Asian Technology Conference rencana akan diselenggarakan di Indonesia pada 30 Juni 2663. Dalam 50 tahun terakhir, organisasi ini telah mendapat lirikan seluruh dunia, tak terkecuali pada Indonesia Menjadi tuan rumah Asian Technology Conference merupakan sebuah kehormatan bagi Indonesia. Oleh karena itu—"

"Aku yakin akan banyak ilmuwan berbondong-bondong menciptakan penemuan untuk dipamerkan pada acara tersebut." Wanita itu refleks menoleh saat mendengar suara familiar. Lelaki yang baru saja ditemui beberapa menit lalu kini berdiri dua meter di belakangnya. Entah bagaimana dia bisa mengikutinya di tengah keramaian ini? Apa dia mengikutinya?

"Aku tidak punya waktu untuk meladenimu. Kita tidak punya urusan apa-apa lagi, kan?"

"Aku belum tahu nama wanita yang kuselamatkan."

"Apakah itu penting?"

"Barangkali kau dalam masalah dan aku bertemu lagi denganmu. Setidaknya aku harus tahu namamu agar akting tadi lebih meyakinkan."

Wanita itu menghela napas gusar. "Ria." Ia langsung pergi dari tempat itu. Tidak ingin berlama-lama di dekat lelaki itu. Perasaannya tidak nyaman saat melihatnya.

Di sisi lain, lelaki itu masih menatap wanita bernama Ria itu dengan tatapan jauh. Entah apa yang ada dipikirannya. Meski ada banyak orang di sana, hanya ada satu bintang redup yang menjadi saksi.

***


CassandraWhere stories live. Discover now