Di Belakang Gedung Pengadilan Lama

4 0 0
                                    

Aku pergi bertemu temanku lagi yang kalau diingat kembali kami berteman karena harus menyebut satu sama lain teman. Ceritanya cukup panjang, namun yang harus diketahui kami pernah memadu cinta. Ah, tak butuh label kekasih untuk bertukar rasa sayang. Kami sering duduk untuk sekedar bercerita bagaimana hari berlalu atau kadang-kadang bercumbu.

Beberapa malam sebelumnya aku memimpikannya. Ia memintaku untuk menemaninya membeli mentega, kutanya mengapa, ia menjawab, "Sebentar lagi 'kan ulang tahunmu. Kita harus merayakannya"Hari ini saat kami duduk di bangku panjang depan kedai kopi milik sepupunya, ia tak mengucapkan selamat ulang tahun padahal aku sengaja menemuinya di hari ulang tahunku yang pas di hari Minggu. Kami saling diam. Begitu sunyi, sampai aku mendengar kopiku mendesis "Asem". Beberapa kali ia melontarkan pertanyaan yang tak lagi relevan namun masih aman untuk diungkapkan.

Ketika aku memutuskan menjadi pecundang dengan mengakhiri pertemuan ini, ia bertanya, "Bagaimana kabarmu?"

Sekarang? baik-baik saja. Beberapa hari lalu aku memimpikanmu. Orang bilang yang berada di mimpi berarti sedang rindu yang sedang bermimpi. Biar kutata ulang kalimatnya. Tidak, tidak ada yang perlu ditata. Namun kurasa tak perlu diperjelas lagi tentang mimpi itu. 

Seringkali aku pura-pura memimpikanmu sebelum tidur karena hubungan kita lebih menyenangkan ketika aku terlelap. Kabar-kabar tentangmu masih sering kudengar, adikmu tak tahu kita pernah menjadi kawan kencan. Ia membicarakan masalahmu padaku, di tempat kerja. Ada hal sulit yang sedang ku pertimbangkan. Aku ingin resign hanya untuk benar-benar menjauhimu dan jaring-jaring kehidupanmu. Tapi apa daya, kurasa cukup sore ini saja aku menjadi pengecut, biar pekerjaan itu kuhadapi seperti orang dewasa. Hal lain adalah hari ini aku mengundangmu karena aku sering menunggu penuh harap kau meneleponku lagi tapi cukup menjadi anganku saja walau setiap hari selama tiga tahun aku berharap kita saling jumpa dan saling melepas rindu. Kurasa hanya aku yang melepas rindu sore ini, kau hanya menghabiskan waktu

"Baik." jawabku menarik dua ujung bibirku yang kuharap juga mengangkat kesadaranku 

"Syukurlah"

Ia memberi jeda. Rasa syukur itu terbentuk dari keinginan untuk menyudahi pertemuan ini

"Sejujurnya kemarin aku memimpikanmu." katanya tanpa melihatku, "Kita duduk berdua di belakang gedung pengadilan lama dan aku bercerita tentang perceraian paling lucu"

Aku tertawa

Sepenggal Kita yang Kau TinggalTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang